Sabtu, 26 Desember 2009

KITAB AL MAJMU' SYARHU AL MUHADZDZAB

KITAB AL MAJMU'
SYARHU AL MUHADZDZAB LI ASY SYIRAZI
Disyarh oleh : Imam An Nawawi rahimahullah
Diringkas oleh: Wahyuddin

Jilid: 5
Cetakan pertama th. 1422 H / 2001 M
Penerbit: Daru Al Ihya' at Turats al 'Arabi

BAB: Dua Shalat Hari Raya

Al 'Iid adalah pecahan kata dari العود artinya kembali, karena hari tersebut berulang-ulang peristiwanya.
Hukum shalat 'Iid adalah sunnah dan bukan Fardhu 'ain. Ini adalah ijmak kaum muslimin. Dan madzhab Syafi'i serta beliau sendiri mengatakan sunnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Demikian pula pendapat ulama baik salaf dan khalaf.
أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ يَسْأَلُهُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ فَقَالَ : خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى عِبَادِهِ . فَقَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ : لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
"Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, dia bertanya kepada beliau tentang islam, maka beliau saw menjawab: shalat 5 waktu yang Allah wajibkan kepada hamb-Nya. Laki-laki itu bertanya: apakah ada kewajiban bagiku selain itu ? Rasulullah menjawab: tidak, kecuali kamu bersedia melakukan shalat sunnah. "
Kemudian menurut al Isthikhari: hukumnya adalah fardhu kifayah. Maka jika mengambil pendapat fardhu kifayah, kelompok yang meninggalkan shalat 'iid diperangi. Dan jika mengambil pendapat sunnah, maka mereka tidak sampai diperangi. (5/5)
a. Menurut Syafi'i, Malik, Abu Hanifah dan zhahiri sunnah muakkadah
b. Menurut sebagian madzhab Hanafi fardhu kifayah
c. Menurut Ahmad terbagi menjadi dua pendapat sebagaimana yang disebutkan di atas.

Pelaksanaan Shalat 'Iid

1. Waktu shalat 'iid
Madzhab syafi'i sepakat bahwa sunnah shalat 'iid diakhirkan hingga menjelang terangkatnya matahari dan untuk 'iidul adhha agar disegerakan daripada shalat 'iid.
Bagi yang tidak mendapati shalat, ada yang mensunnahkan untuk mengqodha' sendiri. Dan menurut Abu Hanifah tidak perlu diqodha'. (5/6)
2. Tempat Pelaksanaan shalat 'Iid
a. Hadits bahwa rasulullah keluar ke mushalla (lapangan tempat untuk shalat) pada saat dua hari raya adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan hadits bahwa Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Mas'ud al Anshari mengimami shalat 'iid di masjid bagi orang-orang yang lemah tidak mampu shalat di lapangan juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh Syafi'i dan Abu Dawud dengan sanad yang baik.
b. Untuk wilayah Makkah tempat yang afdhal adalah masjidil haram, sedangkan untuk masjid al Aqsha ada perbedaan pendapat.
c. Boleh Shalat 'iid di masjid jika terdapat udzur.
d. Apabila tidak ada udzur: 1) ulama Iraq dan Al Baghawi: shalat 'iid di masjid lebih utama. 2) ulama Khurasan dan jumhur berpendapat: shalat 'iid di lapangan lebih utama, sebab rasulullah saw selalu melakukan yang demikian.
e. Menjadikan tempat kusus begi wanita haidh dan nifas. (5/6-8)
3. Disunnahkan untuk makan terlebih dahulu saat akan shalat 'iidul fithri dan sebaliknya pada saat 'iidul adhha.
قَالَ بُرَيْدَةٌ : كَانَ النَّبِيُّ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ
a. Hadits ini adalah riwayat Ahmad, tirmidzi, Ibnu Majah, ad Daruquthni dan sanadnya Hasan. Al Hakim berkata: hadits shahih.
b. Yang membedakan adalah sunnah memerintahkan untuk bersedekah pada 'iidul Fithri sebelum shalat dan diperintahkan / disunnahkan untuk bergabung makan bersama orang miskin.
4. Disunnahkan untuk mandi janabat pada hari raya.
Waktu sah mandi janabat adalah
a. Setelah terbit fajar
b. Dan pengikut madzhab syafi'i (ini adalah pendapat yang benar) boleh dilakukan sesudah dan sebelum fajar. (5/8-9)
5. Dsunnahkan untuk memakai pakaian yang paling baik. Dan warna pakaian yang paling utama adalah warna putih. (5/10)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَلْبَسُ فِيْ الْعِيْدِ بُرْدَ حِبْرَةٍ
6. Di antara sunnah di hari raya 'iid adalah para wanita dan gadis serta anak-anak, laki/perempuan untuk keluar menuju lapangan tempat melaksanakan shalat 'iid, kecuali para gadis yang memiliki wajah yang sangat cantik yang dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Dan bagi anak-anak boleh mengenakan perhiasan emas dan pakaian sutra.
7. Disunnahkan agar berangkat lebih awal dengan berjalan kaki tanpa berkendaraan. Karena rasulullah tidak melakukan yang demikian. (5/11)
عَنْ عَلِيُّ قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا ، رواه الترمذي ، حَدِيْثٌ حَسَنٌ
Artinya: Dari Ali ra beliau berkata: di antara sunnah pada hari 'iid adalah keluar menuju shalat dengan berjalan kaki. HR. Tirmidzi, hadits hasan.
Tujuannya adalah agar mendapatkan shaf yang terdepan / keutamaan sebagaimana pada hari jum'at.
8. Boleh melakukan shalat nafilah sampai imam keluar
عَنْ جَابِر قَالَ : كَانَ النَّبِيَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Dari Jabir ia berkata: bahwasannya nabi saw jika pada hari raya 'iid beliau selalu memilih jalan yang berbeda (antara saat beliau berangkat dan saat beliau kembali)"
عَنْ أَبِيْ بَرْزَة وَأَنَسٍ وَ الْحَسَن وَجَابِر ابْنِ يَزِيْد أَنَّهُمْ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ خُرُوْجِ اْلإِمَامِ
Dari Abu Barzah, Anas, al Hasan dan Jabir bin Yazid bahwa mereka shalat pada hari 'iid sebelum imam keluar.

Dalam point ke-8 ini ada beberapa persoalan:
a. Boleh bagi selain imam melakukan shalat pada hari 'iid sebelum shalat 'iid dan sesudahnya di rumah atau di lapangan sebelum imam keluar, namun bukan dengan niat nafilah shalat 'iid.
b. Merupakan sunnah seorang imam tidak menuju ke lapangan melainkan pada waktu akan dimulainya shalat dan makruh bagi imam shalat sebelum dan sesudah 'iid di lapangan.
c. Disunnahkan bagi kaum muslimin melewati jalan yang berbeda antara ketika berangkat ke lapangan dan ketika kembali dari lapangan. Tujuannya adalah:
- Membuat marah orang munafiq dengan tampaknya syiar-syiar islam.
- Agar tidak disakiti oleh orang munafiq
- Mendapatkan ampunan dan ridha Allah. (5/13)

Madzhab ulama tentang shalat nafilah sebelum dan sesudah shalat 'iid:
a. Ulama sepakat tidak ada shalat nafilah shalat 'iid
b. Madzhab Syafi'iyyah tidak memakruhkannya
c. Menurut Ibnu Mundzir, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Hudaifah dan Ibnu Umar, melakukannya adalah perbuatan makruh.
9. Tidak ada adzan dan iqomah dalam pelaksanaan shalat 'iid
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ وَمَعَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ صَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ آذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari Ibnu Abbas ia berkata: saya pernah melakukan shalat 'iid bersama rasulullah, bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman, semuanya melakukan shalat sebelum khuthbah dan tidak ada adzan dan iqomah.
a. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan syarat Bukhari dan Muslim.
b. Pendapat madzhab Syafi'i dan jumhur ulama dari tabiin dan sebelum mereka mengatakan, tidak ada adzan dan iqomah.
c. Madzhab syafi'i mensunnahkan mengucapkan الصَّلاَةُ جَامِعَةً untuk memanggil shalat. (5/14-15)
10. Shalat dua hari raya adalah dua rekaat, ini adalah pendapat jumhur ulama. Sifat shalat 'iid sama seperti shalat-shalat lain dengan disertai niat.

Secara terperinci dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Takbir di rekaat pertama sebanyak 7 kali selain takbiratul ihram, namun menurut al Mazini takbir pada rekaat pertama sebanyak 6 kali selain takbiratul ihram. Kemudian pada rekaat kedua takbir sebanyak 5 kali selain takbir bangun dari sujud pada rekaat pertama. Dan pendapat jumhur mengatakan takbir pada rekaat pertama berjumlah 7 kali selain takbir pertama.
b. Disunnahkan membaca doa di antara takbir satu dengan yang lain.
- Pendapat jumhur سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَاللهُ أَكْبَرٌ
- Menurut Ash Shidlani, madzhab syafi'i
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ . لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
- Dan doa yang diucapkan kebanyakan manusia
اللهُ أَكْبَرٌ كَبِيْرًا وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَثِيْرًا
c. Kemudian membaca al Fatihah setelah ta'awudz dan surat dalam al Quran pada rekaat pertama
d. Apabila lupa akan jumlah takbir, maka tidak ada qodha (meskipun mungkin ingat jumlah sebenarnya saat ruku' atau sujud)
e. Sunnah shalat 'iid adalah berjamaah. Meskipun jika dilakukan sendiri hal itu dianggap sah.
f. Merupakan sunnah mengangkat tangan pada setiap takbir dan menurut Malik, ats Tsauri, Ibnu Abi Laila dan Abu Yusuf, mereka berpendapat tidak mengangkat tangan kecuali saat takbiratul ihram.
11. Disunnahkan setelah shalat untuk diadakan khutbah dan dilakukan di atas mimbar.
Perihal khutbah ini sama seperti pada shalat jum'at.
a. Boleh dilakukan dengan duduk atau berdiri dan yang utama adalah dengan berdiri.
b. Dilakukan dengan dua khutbah yang keduanya dipisahkan dengan duduk seperti pada saat khutbah jumat.
c. Disunnahkan untuk bertakbir pada sebagian muqaddimah khutbah sebanyak sembilan kali dan pada khutbah keduanya sebanyak tujuh kali dan boleh disertai dengan memuji kepada Allah dan tahlil.
d. Bagi makmum disunnahkan mendengarkan khutbah
e. Jika khutbah dilakukan sebelum shalat maka harus diulangi setelah shalat. (5/21-22)
12. Shalat 'iid bagi musafir, wanita, budak dan orang yang berada di rumah sendirian: a) tidak disyariatkan, b) disyariatkan. Dan rasulullah pernah meninggalkan shalat 'iidul adhha di Mina karena beliau sibuk mengerjakan tata cara ibadah haji.

BAB: 'Takbiran' Pada Hari Raya

1. Takbiran disyariatkan bagi kaum muslimin pada dua hari raya. Allah berfirman, al Baqorah: 185
2. Takbir pada hari raya dilakukan pada dua kondisi / tempat :
a. Tanpa ada pengikat (mutlak / mursal): yaitu yang dilakukan di rumah, masjid, jalan, baik pada malam hari atau siang hari.
b. Waktu yang muqoyyad: yaitu dilakukan setelah shalat lima waktu. Dan yang pertama disyariatkan pada dua hari raya.
3. Waktu dimulai dan diakhiri takbiran.
Takbiran dimulai sejak tenggelam matahari pada hari 'iid (malam 'iid) dan akhir waktu takbiran:
a. 'Iidul fitri : -/ Hingga imam mengucapkan takbiratul ihram. -/ Hingga imam keluar menuju shalat. -/ Hingga selesai shalat atau setelah khutbah.
b. 'Iidul adhha:
- Bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji: dimulai sejak setelah shalat zhuhur hari nahr hingga waktu subuh akhir tasyriq.
- Bagi kaum muslimin lainnya: -/ menurut asy Syafi'I sama dengan hari raya, -/ dimulai sejak malam hari raya ba'da shalat maghrib hingga subuh hari ke-3 hari tasyriq. -/ sejak subuh hari arafah hingga shalat ashar hari ke-3 hari tasyriq. (5/29-30)
4. lafat takbiran
a. Mengucapkan takbir tiga kali, ini adalah riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar.
b. Boleh menambahkan setelah takbir ke-3 seperti yang biasa dilakukan manusia muslim indonesia. Dan Rasulullah pernah melakukannya di shafa dan disunnahkan dengan suara yang keras dan lantang.
5. Melakukan takbir setelah shalat fardhu. (5/35)

Masalah 'Takbiran' Pada Hari Raya 'Iidul Fitri
Menurut kami takbiran pada hari 'iidul fitri adalah sunnah skecuali yang diceritakan dari Abu Hamid dari ibnu Abbas bahwa menurut beliau tidak bertakbir melainkan jika imam bertakbir.
Menurut as Saji dan lainnya dari Abu Hanifah bertakbir pada hari itu tidak ada secara mutlak.
Menurut riwayat al 'Abdari dari Said bin al Musayyib, Urwah bin az Zubair dan Dawud: bertakbir pada hari raya 'Iidul fitri itu wajib, sedangan pada 'Idul Adhha sunnah.
Menurut jumhuru ulama, tidak bertakbir pada hari 'Iid, namun haya dibolehkan bertakbir pada pagi hari hingga shalat 'Iid. (5/35)

BAB: Shalat Kusuf

1. Pengertiannya, yaitu shalat tatkala terjadi gerhana matahari atau bulan.
a. Kasafa asy syamsu dan khasafa al qomaru
b. al Kusuf ketika awal mula dan khusuf ketika berakhir
Yang benar dan masyhur di dalam buku-buku bahasa, dua kata tersebut biasa digunakan untuk kedua maksud. Namun yang masyhur di lisan para fuqoha kusuf kusus untuk gerhana matahari dan khusuf kusus untuk gerhana bulan. (5/37)
2. Hukum shalat kusuf adalah sunnah bagi wanita, budak, musafir dan munfarid.
3. Di antara sunnah untuk shalat melaksanakan shalat kusuf ini adalah mandi, karena disyariatkan shalat kusuf, di sana berkumpul dan ada khutbah, maka disunnahkan untuk mandi seperti pada hari Jum'at.(5/37-38)
4. Tata cara shalat kusuf harus diiringi dengan niat.
a. Tata cara minimal dalam shalat kusuf adalah terdiri dari dua rekaat, setiap rekaat terdiri dari dua ruku' dan dua sujud. Setelah takbiratul ihram membaca al fatihah kemudian ruku', kemudian bangkit kamudian membaca al fatihah. Kemudian ruku' yang kedua, kemudian bangkit dan mutmainnah (diam sejenak). Kemudian sujud dua kali, ini disebut rekaat pertama. Kemudian bangkit dari sujud untuk melakukan rekaat kedua seperti yang pertama. (5/39)
Meskipun di sana ada perbedaan pendapat yang membolehkan menambah tiga, empat, lima dan seterusnya hingga matahari atau bulan itu tampak kembali. Akan tetapi menurut madzhab kami yang dianggap benar adalah tidak boleh melakukannya lebih dari dua rekaat. (5/39)
b. Adapun tata cara shalat kusuf secara terperinci: a) takbiratul ihram, b) Membaca ta'awudz, c) membaca al fatihah, d) kemudian membaca surat al Baqoroh atau selainnya jika tidak mampu. Yang demikian dilakukan pada saat berdiri ke-2,3,4 dalam shalat kusuf, e) disunnahkan membaca ta'awudz setiap berdiri dalam shalat kusuf. (5/40)

Beberapa Hukum tentang Shalat Kusuf

1. Al Kuthabi berkata: madzhab Syafi'i dan Ishaq bin Rahawaih memanjangkan sujud seperti panjangnya ruku'. (5/41)
Ada beberapa hadits tentang memanjangkan sujud seperti dalam ruku'. Dari Abu Musa al asy'ari tentang sifat shalat rasulullah, dia berkata: kemudian beliau mendatangi masjid, beliau shalat dengan mensamaratakan durasi berdiri, ruku' dan sujud, saya melihatnya dalam shalat beliau.
2. Disunnahkan dalam shalat kusuf mengeraskan bacaan ketika gerhana bulan dan tidak mengeraskan bacaan ketika gerhana matahari.
3. Disunnahkan pula untuk dilakukan khutbah seperti pada khutbah jum'at dan itu dilakukan setelah shalat kusuf berdasarkan madzhab syafi'i. Namun menurut Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Ahmad dalam satu riwayat tidak disyariatkan khutbah berdasarkan hadits-hadits yang shahih. (5/42)
4. Kesempatan melakukan shalat kusuf hilang oleh karena dua hal:
a. Matahari / bulan tampak kembali. Jika sebagian saja yang tampak, maka masih disyariatkan shalat kusuf.
b. Apabila telah datang waktu matahari tenggelam di sore hari, untuk peristiwa gerhana matahari. Atau datang waktu terbit matahari di pagi hari, untuk peristiwa gerhana bulan. (5/43-44)
5. Tidak ada sunnah disyariatkan shalat dikarenakan terjadi peristiwa yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah selain peristiwa gerhana, seperti, gempa, sunami dll. (5/44)
6. Apabila shalat kusuf terjadi bertepatan dengan waktu-waktu shalat yang lain, maka didahulukan yang lebih mendesak dan dikhawatirkan akan hilang salah satu dari waktu shalat tersebut. Kemudian tidak boleh shalat kusuf dilakukan bersamaan dengan shalat jumat dalam satu waktu. Sebab yang demikian adalah menggabungkan antara wajib dan sunnah dalam satu niat. Berbeda halnya jika melakukan shalat 'iid dan kusuf karena keduanya adalah shalat sunnah. Namun yang terakhir ini terdapat kritikan (perbedaan pendapat). Dan menurut asy Syafi'i dan pengikutnya, keduanya dilakukan secara tertib. (5/45)
7. Apabila terjadi masbuk, maka dia menyempurnakan kekurangannya seperti syariat shalat yang lain. Apabia dia mendapatkan ruku' pertama pada rekaat pertama, dia telah mendapatkan shalat dan salam bersama imam. Dan apabila dia mendapatkan rukuk kedua di rekaat kedua, maka dia telah mendapatkan satu rekaat dan jika imam salam dia berdiri menyempurnakan rekaat yang lain dengan dua ruku' dan dua sujud sebagaimana yang dilakukan oleh imam. seperti halnya dalam shalat-shalat yang lain. (5/48) dan jika mendapatkan ruku' yang kedua dalam rekaat, menurut pendapat yang shahih adalah ia belum mendapatkan satu rekaat tersebut. (5/49)
8. Asy Syafi'i berkata: apabila seseorang melakukan shalat kusuf sendirian kemudian ia mendapatkan imam melakukan shalat kusuf, maka dia bergabung bersama imam, demikian pula berlaku bagi wanita. (5/48)

BAB: Istisqo'

1. Pengertiannya adalah shalat untuk meminta air hujan dikarenakan kemarau panjang.
2. Macam-macam cara meminta hujan:
a. Doa, tanpa melaksanakan shalat, dan doa tersebut juga tidak dilakukan setelah shalat bersama para jamaah di dalam satu masjid. Yang terbaik adalah dilakukan oleh orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.
b. Dengan berdoa setelah shalat jum'at dan shalat-shalat yang lain serta dilakukan pada saat berkhutbah.
c. Yang paling afdhal adalah dengan shalat dua rekaat dan dua khutbah. (5/50)
3. Pelaksanaan dilakukan dengan dua rekaat seperti shalat sunnah yang lain. Dan akan lebih sempurna jika memperhatikan adab-adab dalam melaksanakannya:
a. Ketika akan melaksanakan shalat istisqo' imam berkhutbah, memberi nasehat dan pengarahan. Menyuruh manusia untuk meninggalkan kemaksiatan dan tindak kezhaliman.
b. Memerintahan agar shaum selama tiga hari sebelum hari keempat (yaitu hari pelaksanaan shalat istisqo).
c. Disunnahkan meminta hujan dengan bertawasul dengan orang/kerabat nabi yang paling dekat dan orang-orang yang shaleh, orang-orang tua renta serta anak-anak.
d. Tidak perlu mengeluarkan binatang ternak, ini adalah komentar imam Syafi'i., namun di sini terdapat perselisihan pendapat di kalangan para sahabatnya / pengikutnya, ada ulama yang tidak mensunnahkan dan tidak memakruhkannya, ini ditegaskan oleh Salim ar Razi, al Muhamili. Ada pula yang memakruhkan, ini adalah pendapat mayoritas madzhab syafi'i. dan ada pula yang mensunnahkan, yang dikatakan oleh Abu Ishaq. (5/53-54)
e. Tidak mengikutsertakan orang-orang kafir laki-laki dan perempuan.
f. Disunnahkan untuk mandi junub dan bersiwak.
g. Tidak ada adzan dan iqomah. Dan boleh mengucapkan الصلاة جامعة
h. Dilakukan di lapangan terbuka.
4. Sifat shalat istisqo
a. Niat shalat istisqo
b. Jumlah rekaat ada dua seperti shalat 'iid
c. Di rekaat pertama, setelah tekbiratul ihram membaca doa istiftah, kemudian takbir tujuh kali
d. Di rekaat kedua bertakbir lima kali selain takbir bangkit dari sujud. Kemudian ta'awudz dan membaca al fatihah dan membaca dzikir di antara takbir-takbir baik yang tujuh kali pada rekaat pertama atau takbir lima kali pada rekaat kedua, seperti dilakukan dalam shalat 'iid. Asy Syirazi berkata: membaca surat Qoof di rekaat pertama dan di rekaat kedua membaca surat Nuuh. Ada pula yang menyebutkan membaca surat iqtaraba lin naas. (5/56)

Waktu shalat istisqo

1. Sama seperti waktu pelaksanaan shalat 'iid
2. Dimulai di awal waktu shalat 'iid hingga shalat ashar.
3. Yang benar menurut madzhab kami adalah tidak ada ketentuan kusus untuk pelaksanaan shalat istisqo, boleh di siang hari atau di malam hari. (5/56)

Rukun-rukun Kutbah istisqo

Khutbah istisqo sama dengan khutbah 'idul fitri / adhha. Namun ada tiga hal yang membedakan antara keduanya:
1. Di dalam muqoddimah khutbah 'iid dimulai dengan takbir sembilan kali, ketika khutbah pertama. Dan di khutbah kedua bertakbir sebanyak tujuh kali. Namun dalam khutbah istisqo takbir diganti dengan istighfar dengan jumlah yang sama. Lafat istighfar tersebut:
أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه
2. Di khutbah pertama khutbah istisqo disunnahkan berdoa dengan doa yang dicontohkan nabi, meskipun selain doa tersebut dibolehkan.
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلاً غَيْرَ آجِلٍ اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلاَغًا إِلَى حِيْنٍ
3. Disunnahkan saat khutbah pertama dan pertengahan khutbah kedua menghadap ke arah manusia dan membelakangi kiblat, kemudian berbalik menghadap ke arah kiblat. Mengucapkan doa dengan sirri dan jahri, saat doa sirri manusia berdoa sendiri dan saat doa jahri manusia mengamini. (5/60)

Beberapa Persoalan tentang pembahasan
1. Jika imam meninggalkan / tidak melaksanakan shalat istisqo, maka manusia tidak kemudian juga tidak melaksanakannya.
2. Jika imam telah bernadzar untuk shalat istisqo, namun manusia telah melaksanakannya, maka imam tetap harus memenuhi nadzarnya.
3. Jika justru banyak turun hujan dan berakibat buruk bagi kehidupan manusia, maka disunnahkan untuk berduoa dengan mengangkat suara: (5/64-65)
اللّّهُمَّ حَوَالِيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا


KITABU AL JANAIZ

Ada dua penyebutan bagi kata janaiz: 1) jinazah, 2) Janazah, dan bentuk pluralnya adalah janaiz, yaitu asal kata janaza – yajnizu artinya apabila ditutup.

BAB: Apa yang Silakukan Terhadap Si Mayit

1. Disunnahkan bagi orang yang sakit untuk banyak mengingat mati.
عن أبي هريرة أن رسول الله قال : "أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِ هَاذِمِ اللَّذَّاذِ ، يَعْنِيْ الْمَوْتُ" رواه الترمذي و النسائي ةابن ماجه بإسناد صحيح كلها على شرط البخاري و مسلم .
Syekh Abu Hammad berkata: pada saat kondisi sakit lebih disunnahkan karena dengan mengingat mati hati akan lebih lunak. (5/70)
2. Bersabar, seperti kisah seorang wanita yang tertimpa sakit epilepsi, dia ditawarkan kepadanya dua pilihan: dia didoakan oleh rasulullah penyakitnya sembuh atau pilihan ke-2 bersabar dengan jaminan jannah. Kemudian wanita tersebut memilih untuk bersabar. (5/71) Allah berfirman dalam a Zumar:39
3. Berprasangka baik kepada Allah. (5/72)
عن جابر : قال صلى الله عليه وسلم : "لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله تعالى "
4. Menjenguk orang sakit, dan jika telah dekat dengan kematian hendaknya mentalkin dengan kalimat syahadat. (5/73)
Berikut ini beberapa ketentuan syar'i berkaitan dengan menjenguk orang sakit:
a. Hukum menjenguk orang sakit adalah sunnah muakkadah.
b. Berdoa untuk si sakit. (5/75)
c. Mentalkin jika telah dianggap tidak ada harapan untuk hidup. Hendaknya cukup kelaimat la ilaha illallah. Dan ada perbedaan tentang jumlah yang semestinya ditalkinkan kepada si sakit yang akan meninggal: a) Menurut jumhur: cukup sekali saja si sakit mengucapkan kalimat syahadat. b) Menurut madzhab Syafi'i: tidak lebih dari tiga kali
5. Membaca surat Yasin di sisi orang yang sedang sekaratul maut.
6. Menghadapkan ke arah kiblat. (5/76-77)

BAB: Adab bagi orang yang sakit

1. Sabar
2. Berdoa agar dimatikan di negeri yang mulia
3. Bertaubat
4. Memperbagus penampilan dan meninggalkan perseteruan dan perselisihan dalam urusan dunia agar tidak terlalaikan dari amal shaleh.

BAB: Memandikan mayit
(5/81)

1. Hukumnya: memandikan mayit adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan para ulama. (5/81)
2. Kondisi orang yang meninggal.
a. Seorang laki-laki yang tidak punya istri. Maka orang yang memandikan adalah ayahnya yang paling berhak. Kemudian kakek, kemudian anak, kemudian cucu, kemudian saudara laki-laki, kemudian anak laki-laki saudara laki-laki, kemudian paman kemudian anak laki-laki paman.
b. Wanita yang meninggal dan ia tidak mempunyai suami. Maka orang yang berhak untuk memandikan adalah: anak-anaknya, ibu kemudian orang yang menjadi mahramnya, kemudian wanita-wanita kaum muslimin.
3. Seorang suami boleh memandikan istrinya dan sebaliknya
4. Apabila seorang laki-laki meninggal dan tidak ada seorangpun kecuali wanita ajnabi atau sebaliknya, maka ada dua pendapat: a) dengan tayammum saja, b) si mayit ditutup dengan kain, dan orang yang memandikan mengenakan sarung tangan, c) si mayit tidak dimandikan dan tidak pula tayammum. (5/86)
Dan menurut pendapat jumhur kami tidak memandikannya dan cukup dengan tayammum.
5. Tidak ada kewajiban orang muslim memandikan orang kafir baik dia seorang dzimmi atau selainnya. Namun yang memandikan adalah orang kafir dari kerabatnya. Dan jika yang memandikan orang muslim tidak mengapa. (5/86)

Beberapa permasalahan dalam hal memandikan

Menurut syafi'iyyah disunnahkan memandikan mayit dengan air dingin kecuali jika diperlukan memakai air hangat.
Sifat-sifat mamandikan adalah:
1. Memposisikan mayit dengan posisi setengah duduk, lalu mengusap bagian perutnya untuk mengeluarkan kotorannya. (5/92)
2. Memotong kuku-kuku jari tangan dan kaki, merapikan kumisnya, mencukur bulu kemaluannya dan bulu ketiak serta sunnah-sunnah fitrah yang lain. (5/101
3. Mayit wanita dimandikan seperti halnya memandikan mayat laki-laki, jika wanita tersebut memiliki rambut panjang maka rambutnya hendaknya di bagi menjadi tiga ikat. Akan tetapi menurut Malik dan Abu Hanifah dibiarkan rambutnya terurai. (5/103)
4. Orang yang memandikan mayit disarankan untuk mandi setelah mengurus jenazah seperti mandi janabat, namun saran tersebut tidak wajib. Beberapa dalil yang menjelsakan tindakan ini mayoritas kedudukannya adalah lemah. Muhammad bin Yahya adz Dzuhali (dia adalah guru imam Bukhari) berkata: tidak ada hadits shahih yang saya ketahui tentang perintah untuk mandi bagi orang yang memandikan mayit.
Menurut al Mazini, beliau berkata: mandi bagi orang yang memandikan jenazah tidak ada perintahnya. Demikian pula perintah untuk berwudu bagi orang yang menyentuh, membawa dan memakamkannya, karena tidak ada dalil dalam masalah tersebut.
Dan madzhab syafi'i tetap menyatakan sunnah, meskipun tidak ada dalil shahih. (5/203-204)
5. Jika terlihat dari diri mayit sesuatu yang baik disunnahkan diceritakan, akan tetapi tidak sebaliknya. (5/104)
6. Orang junub dan haidh boleh memandikan mayit dan tidak dimakruhkan, namun al Hasan dan ibnu Sirin memakruhkannya, demikian pula pendapat Malik. (5/105)

BAB: Mengkafani mayit

1. Hukum mengkafani mayit adalah fardhu kifayah.
2. Biaya mengurus mayit ditanggung dengan harta si mayit yang ditinggalkan.
3. Suami memiliki kewajiban membiayai pengkafanannya. Dan jika mayit tidak punya harta, maka kewajiban tersebut dilimpahkan kepada orang yang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepadanya pada saat mayit masih hidup, seperti, anak, bapak dan majikan jika si mayit seorang budak. (5/105-106)
4. Kain kafan yang digunakan adalah kain yang dapat menutupi seluruh badannya dan boleh melebihkannya dan meluaskannya. Untuk laki-laki tiga helai dan wanita lima helai.
5. Kain kafan disunnahkan berwarna putih. (5/108-111)

BAB: Shalat Janazah

1. Hukum shalat janaiz adalah fardhu kifayah
a. Menurut al Qodhi Husain jumlah minimal yang melakukan shalat adalah 4 orang, namun ini bukan wajib.
b. Jika tidak ada seorang pun kecuali wanita, maka mereka pun boleh menshalatkannya dan kewajiban tersebut gugur dengan apa yang mereka lakukan.
c. Apabila di sana ada laki-laki, maka bagi kaum wanita tidak ada kewajiban. Seandainya ada di antara mereka yang ikut diperbolehkan.
d. Pelaksanaannya boleh pada setiap waktu meskipun bertepatan dengan waktu-waktu dilarang shalat.
e. Boleh dilakukan di masjid dan tidak makruh.
عن أبي هريرة أن النبي قال : "مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلاَ شَيْئٌ لَهُ"
f. Boleh shalat janazah sendiri, dan yang sunnah adalah dengan berjamaah.
عن عائشة عن النبي قال : مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّيْ عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ إِلاَّ شَفَعُوْا فِيْهِ . رواه مسلم
(5/120-123)
2. Tidak mengumumkan kematian dan tidak menyeru untuk shalat, akan tetapi masih ada pertentangan di kalangan ulama. (5/123)
Memberitahukan kepada keluarga dan kerabatnya tidak mengapa. Yang demikian diungkapkan oleh Ahmad bin Hambal dan Abu Haifah. Dan imam an Nawawi tidak memakruhkannya. Selain itu bertujuan agar jamaah yang ikut dalam shalat lebih banyak. Tindakan yang dimakruhkan adalah keliling meneriakkan kematian si fulan dengan kebanggaan … kepada manusia. Itu merupakan tradisi jahiliyyah yang dilarang.
3. Orang yang lebih utama didahulukan menjadi imam shalat jenazah masih terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Mereka adalah orang yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan mayit, seperti, bapak – kakek – dan seterusnya. Ada pula yang lebih mengutamakan imam masjid. Qoul jadid dalam madzhab syafi'i adalah wali mayit lebih diutamakan daripada imam masjid. (5/125)
4. Syarat sah shalat jenazah adalah thaharah, menutup aurat, berdiri menghadap qiblat. Jika dia mampu berdiri atau duduk jika tidak mampu berdiri.(5/129)
Ada ulama yang mengingkari bersuci sebagai syarat sah, tetapi itu adalah rukun shalat jenazah.
5. Posisi imam berada di sisi kepala mayit laki-laki atau di sisi bagian pusar mayit wanita.
a. Imam Abu Hunaifah berkata: imam berada di depan dada baik mayit itu laki-laki atau wanita. Dan menurut Abu Yusuf; untuk mayit laki-laki imam berada di depan dada dan untuk wanita di pusar.
b. Imam Ahmad berkata: untuk mayit laki-laki berada di kepadal
عن سمرة رضي الله عنه قال : صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِيْ نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا . رواه البخاري ومسلم
c. Apabila mayit yang ada berjumlah banyak, maka boleh dilakukan shalat sekali saja, meskipun yang afdhal adalah masing-masing dishalatkan, akan tetapi ada pendapat yang memilih sekali shalat untuk semua mayit itu lebih afdhal.
d. Cara melakukan shalat untuk jenazah yang banyak dengan satu kali shalat adalah meletakkan mayit laki-laki di depan imam, dan dipilih siapa saja di antara mayit laki-laki tersebut yang memiliki keutamaan, kemudian anak-anak.
Menurut Ibnu al Mundzir: laki-laki di depan imam, kemudian wanita. (5/130-131)
6. Shalat Jenazah:
a. Niat shalat jenazah, sifatnya berniat ketika takbiratul ihram untuk melakukan shalat mayit.
b. Takbir empat kali, jika tanpa empat takbir ini maka tidak sah. Ada perbedaan di kalangan ulama tentang jumlah takbir dalam shalat jenazah: (5/133-134)
a) Ibnu Mundzir berkata: nabi saw melakukan shalat jenazah dengan empat takbir, (ini adalah riwayat dari Umar, Zaid bin Tsabit, al Hasan bin Ali).
b) Ibnu Mas'ud dan Zaid bin Arqom berkata, beliau saw bertakbir lima kali,
c) Kemudian imam Ahmad berkata: tidak boleh kurang dari empat takbir dan tidak lebih dari tujuh takbir. (5/135)
Mengenai mengangkat tangan di setiap takbir, seluruhnya sependapat mengangkat tangan saat takbir pertama. Dan takbir kedua dan seterusnya terdapat perselisihan.
c. Takbir pertama membaca al fatihah dan setelahnya membaca salah satu surat al Qur'an. menurut pendapat yang benar menurut madzhab syafi'i tidak disunnahkan. (5/136) Dan pendapat yang mensunnahkan adalah berdasarkan hadits yang termaktub dalam musnad Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Kemudian untuk doa istiftahpun tidak disunnahkan menurut madzhab syafi'i, namun ada pula yang mensunnahkan. Demikian pula tentang menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah, terdapat perselisihan. Menurut mayoritas madzhab syafi'i tidak dijahrkan dan menurut ad Daroki, Abu Hamid al isfiroyaini: sunnah jika dijahrkan. (5/138)
d. Setelah takbir kedua membaca shalawat kepada nabi, hukumnya fardhu.
e. Setelah takbir ketiga berdoa untuk mayit, ini pun fardhu dan di antara rukun shalat jenazah. Pendapat lain mengatakan tidak disyariatkan, tetapi cukup berdoa untuk kaum muslimin. Dan pendapat yang benar adalah pendapat pertama. (5/142)
f. Setelah takbir keempat adalah salam. Di sini ada dua permasalahan:
a) Apakah setelah takbir keempat ada dzikir ? menurut jumhur madzhab syafi'I adalah sunnah adanya doa setelah takbir keempat.
b) Apakah salam dilakukan sekali atau dua kali: pendapat yang masyhur adalah disunnahkan salam dua kali. Dan Imam Syafi'i di dalam al umm sekali salam dimulai dengan menoleh ke kanan dan berakhir salam tersebut ketika menoleh ke kiri.
7. Jika seseorang tertinggal dari imam, maka hendaklah ia segera bergabung bersama imam dengan membaca doa secara urutan rekaat shalat dan tidak mengikuti bacaan yang sedang dibaca oleh imam. Kemudian setelah imam salam, ia melanjutkan sisa takbir yang tertinggal dengan tidak membaca dikir menurut salah satu pendapat. (5/143-144)

Menyegerakan Menguburkan mayit yang telah dishalatkan

1. Jika mayit telah dishalatkan, maka segealah untuk dikuburkan, tidak perlu menunggu orang yang datang kemudian untuk menshalatkan, kecuali jika tubuh mayit tidak dikhawatirkan rusak.
2. Jika kemudian datang kelompok lain yang belum menshalatkan, maka tidak perlu mereka menshalatkannya kembali. Abu Hanifah beralasan karena shalat jenazah adalah fardhu kifayah dan tidak ada nafilah bagi shalat janazah. Dan menurut madzhab Syafi'i: kelompok yang datang kemudian, hukumnya fardhu kifayah bagi mereka. (5/146-147)

Orang yang tidak mendapatkan kesempatan menshalatkan mayit

Abu Hanifah berkata: tidak perlu shalat di kuburannya (shalat jenazah) setelah tiga hari dari hari mayit dikuburkan.
Menurut Ahmad batasannya adalah satu bulan. (5/150)
Menurut imam asy syirazi: shalat ghaib boleh dilakukan berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah, bahwasannya nabi saw memberitahukan kematian an Najasyi kepada sahabatnya di Madinah dan para sahabat pun shalat di belakang rasulullah. Dan jika mayit itu mungkin bisa dihadirkan maka tidak ada shalat ghaib.

Shalat ghaib untuk mayit yang berada di luar negrinya

1. Madzhab syafi'i membolehkan shalat ghaib dan Abu Hanifah melarangnya. Dalil kami adalah kematian raja an Najasyi. (5/150-151)
2. Jika didapati hanya sebagian tubuh mayit saja, maka tidak perlu dishalatkan. Namun menurut Abu hanifah mengecualikan jika didapatkan 1/2 dari tubuh mayit. (5/152-153)

Madzhab ulama tentang menshalatkan mayit anak kecil
1. Dinukilkan dari Ibnu al Mundzir, an Nawawi berkata, jika mayit seorang anak kecil kami dan mayoritas madzhab salaf dan khalaf wajib dishalatkan.
2. Dan menurut Said bin az Zubair tidak dishalatkan selama anak tersebut belum baligh. (5/154-155)

Mayit orang kafir
1. asy Syafi'i berkata: jika orang kafir mati tidak perlu dishalatkan berdasarkan firman Allah at taubah: 84. karena orang kafir tidak berhak mendapatkan istighfar.
2. asy Syirazi berkata: boleh dimandikan dan dikafani. (5/155)
Kemudian imam an Nawawi berkata: haram menshalatkan mayit orang kafir, dan hanya boleh memandikan dan mengkafaninya saja. Apabila mayat orang kafir dan orang muslim bercampur dan sulit untuk membedakannya, maka wajib untuk dishalatkan, dimandikan dan dikuburkan. Menurut kami tidak perlu mengkalkulasi golongan mana yang jumlahnya mayoritas, muslim atau kafir. Pendapat ini juga diungapkan oleh imam malik.
Dan menurut Abu Hanifah jika jumlah kaum muslimin lebih sedikit atau seimbang, maka tidak perlu dishalatkan.

Mayit orang yang mati syahid
1. Orang yang mati syahid adalah orang yang terbunuh ketika berperang di jalan Allah (ini yang dimaksud dalam pembahasan).
2. Orang yang mati syahid tidak boleh dimandikan dan tidak dishalatkan. Al Mazini berkata: menurut imam al Haramain dan al Baghawi, boleh dishalatkan, tetapi tidak wajib dan tidak perlu dimandikan.
Ar Rafi'i berkata: jika memandikannya akan menghilangkan darahnya maka itu diharamkan. Jika tidak pun diharamkan menurut salah satu madzhab. Dan diharamkan untuk dishalatkan terdapat perselisihan. (5/157)
3. Jik seseorang mati dalam pertempuran melawan orang kafir, namun bukan karena dibunuh orang kafir atau ketika melawan mereka, dia mati karena sakit atau mati dengan tiba-tiba atau meninggal setelah usai perang, di sini ada perselisihan pendapat: (5/158)
a. Dia disebut syahid dengan satu syahid, ini adalah pendapat al Qodhi Husain dan al Baghowi.
b. Tidak disebut syahid.
4. Syuhada terbagi menjadi tiga macam: (5/160)
a. Syahid dalam hukum dunia: ini tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Dan syahid di akhirat, yaitu mendapat pahal kusus dari rabb-nya.
b. Syahid di akhirat saja, seperti meninggal karena penyakit thaun, kerena tenggelam dst.
c. Syahid di dunia saja, mereka adalah yang terbunuh ketika lari dari medan perang dan orang yang berbuat ghulul.atau riya'.
5. Hikmah orang yang mati syahid tidak dimandikan dan tidak dishalatkan:
Agar dia bertemu Allahbersama luka yang mengalir, karena harum darahnya seperti harum misk, dengan demikian mereka tidak butuh ada orang yang menshalatkannya.

Bantahan kepada pendapat yang mengatakan orang mati syahid dishalatkan (5/161-162)

Menurut Said bin al Musayyib dan al Hasan al Bashri, mereka harus dimandikan dan dishalatkan. Dan menurut Abu Hanifah cukup dishalatkan dan tidak dimandikan. Dalil mereka,
عن أبي مالك الغفلري أن النبي صلى على قتلى أحد : عَشْرَةً عَشْرَةً فِيْ كُلِّ عَشْرَةٍ حَمْزَةٌ حَتَّى صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعِيْنَ صَلاَةٍ
Jawab:
1. An Nawawi berkata: sahabat-sahabat kami (dari kalangan madzhab syafi'i ) berhujjah dengan hadits jabir bin Abdillah: "Bahwasannya nabi saw memerintahkan kepada kami untuk para korban perang Uhud agar dikubur bersama darah mereka dan beliau tidak menshalatkan mereka dan tidak pula memandikannya. HR. al Bukhari
Rasulullah bersabda,
لاَ تَغْسِلُوْهُمْ فَإِنََّ كُلَّ جُرْحٍ أَوْ كُلَّ دَمْ يَفُوْحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Janganlah kalian mandikan mereka, karena setiap luka dan darah yang mengalir akan menimbulkan bau harum misk pada hari kiamat." HR. Ahmad
2. Adapun hadits-hadits yang menjadi hujjah oleh orang-orang yang berpendapat agar dishalatkan, ahli hadits sepakat bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah, kecuali hadits Uqbah bin Amir
3. Hadits Uqbah bin Amir, maksud shalat di dalam hadits adalah doa, bukan shalat jenazah, sebab rasulullah melakukan shalat (bermakna doa) itu setelah 8 tahun dari peristiwa para korban perang Uhud dikubur.
4. Jumlah syuhada Uhud tujuh puluh orang. Jika rasuullah shalat untuk setiap sepuluh orang dari mereka dan setiap sepuluh orang tersebut ada Hamzah, paman rasulullah, maka jika dikalikan jumlah rasulullah melaksanakan shalat, yaitu tujuh kali shalat, hanya mencapai 63 orang, karena setiap kelompok yang dishalatkan terdapat Hamzah ra.. Ini menyelisihi jumlah korban di perang uhud yang sebenarnya 70 orang.

BAB: Membawa dan Mengubur Jenazah

1. Cara membawa jenazah, terdapat dua cara:
a. Dibawa oleh dua orang dengan dua batang kayu, yang masing-masing memikul ujung batang kayu itu di atas kedua pundaknya.
b. Dibawa oleh empat orang dengan dua batang kayu, dua orang berada di depan masing-masing memikul satu batang kayu di pundaknya dan begitu pula dua orang yang berada di belakang.
Menurut ar Rafi'i keduanya sama saja. Kemudian disimpulkan bahwa tidak ada cara tertentu (kusus) dalam membawa jenazah, yang terpenting adalah jenazah dapat dibawa hingga pemakaman dengan selamat.
2. Menyegerakan jenazah
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ ، فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهُ وَإِنْ تَكُنْ سِوَى ذَلِكَ َفَشٌّر تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ " رواه البخاري
a. an Nawawi berkata: para ulama sepakat disunnahkan untuk bersegera dalam membawa jenazah kecuali jika dikhawatirkan akan berakibat buruk bagi tubuh mayit.
b. Imam Syafi'i dan para pengikutnya berpendapat: yang dimaksud adalah berjalan dengan gaya lebih cepat daripada ketika berjalan biasa. (5/165-167)
3. asy Syirazi berkata: disunnahkan untuk ikut mengiringi jenazah
عن البراء ابن عازب قال : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ بِاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ ، وَعِيَادَةِ الْمَرِيْضِ وَتَشْمِيْطِ الْعَاطِسِ وَإِجَابَةِ الدَّاعِيْ وَنَصْرِ الْمَظْلُوْمِ
Dari Al Barra bin 'Azib ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, mendoakan orang yang bersin, memenuhi panggilan dan menolong orang yang dizhalimi." HR. Bukhari dan Muslim
asy Syafi'i dan para pengikutnya berkata; sunnah ini untuk laki-laki sampai jenazah dimakamkan. Dan bagi kaum wanita hukumnya makruh.
4. Disunnahkan untuk tidak berkendaraan ketika mengiringi jenazah. Adapun ketika kembali dari kubur tidak mengapa menaiki kendaraan. Dan di antara adabnya adalah para pengiring hendaknya berjalan di depan jenazah, sebab mereka akan memberi syafaat kelak di hari kiamat, dan antara iringan jenazah dan jenazah tersebut hendaknya tidak terpisah.
Imam Syafi'i berkata: yang utama adalah berjalan kaki dan tidak terpisah dari rombongan pembawa jenazah dan jika lebih dekat itu lebih haik. (5/170)
5. Apabila telah sampai di pemakaman, maka para pengiring jenazah diberikan pilihan boleh duduk terlebih dahulu atau menunggu hingga jenazah dimasukkan ke dalam kubur
عن علي قال : ((قام رسول الله صلى الله عليه وسلم مع الجنائز حتى توضع وقام الناس معه ، ثم قعد بعد ذلك وأمرهم بالقعود )) رواه مسلم
Dari Ali ra dia berkata: "Rasulullah berdiri bersama janazah sampai jenazah itu diletakkan sedang manusia masih tetap berdiri, kemudian beliau duduk dan memerintahkan mereka untuk duduk ." HR. Muslim
Dari hadits ini rasulullah memberikan saran:
a. Agar berdiri bagi orang-orang yang mendapati jenazah yang dibawa menuju pemakaman hingga berlalu darinya atau jenazah itu diletakkan.
b. Bagi para pengiring jangan duduk hingga jenazah itu diletakkan
Jumhur madzhab syafi'i dan imam syafi'i sendiri berpendapat dua perintah di atas mansukh, tidak ada lagi perintah untuk berdiri hari ini, baik ketika ada jenazah yang lewat didepannya atau bagi mereka yang mengiringi hingga kubur.
Sebagian lagi berpendapat: terserah kepada orang yang melihat atau yang mengiringi jenazah tersebut. Sebagian yang lain lagi: makruh berdiri untuk jenazah jika tidak ikut mengiringinya, (Salim ar Razi).
Dan menurut Malik, Ahmad dan Abu Hanifah, makruh duduk debelum jenazah diletakkan. (5/171-172)
6. Seorang muslim tidak dimakruhkan mengiringi jenazah orang kafir yang masih menjadi kerabatnya. Demikian pendapat asy Syafi'i. (5/172)

Perihal dalam Pemakaman

1. Hukum memakamkan mayit adalah fardhu kifayah. (5/175)
a. Boleh mengkubur mayit di rumahnya, namun di tempat pemakaman adalah lebih baik.
b. Kemudian kenapa rasulullah dikubur di rumah ?
Jumhur madzhab syafi'i menjawab: Rasulullah mengubur para sahabatnya di baqi' dan mencontoh sunnah itu lebih baik dan utama. Kemudian rasulullah dikubur dirumah. Kronologinya, para sahabat berselisih tentang di mana tempat yang layak untuk menjadi tempat dikuburnya rasulullah, kemudian Abu Bakar berkata, bahwa dia pernah mendengar rasulullah bersabda, bahw setiap nabi dikubur di tempat dia meninggal dunia. (5/176)
2. Tidak boleh mengubur mayit di lubang yang telah digunakan untuk mengubur mayit lain kecuali mayit di dalam lubang tersebut telah hancur sama sekali.
3. Mayit orang kafir tidak boleh dikubur di pemakaman kaum muslimin dan sebaliknya bagi mayat kaum muslimin tidk boleh dikubur di pemakaman kaum kafir. (5/176-177)
4. Membuat lubang kubur yang dalam dan pada bagian kepala dan kaki diluaskan. (5/179-180)
((أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ وَأَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيِْه )) رواه أبو داوود
"Luaskanlah lubang mayit pada bagian kepada la dan kakinya" HR. Abu Dawud
Kemudian membuat liang lahat, yaitu lubang yang digali di bagian dinding lubang kubur yang paling bawah sebelah kiblat seluas tubuh mayit agar dapat masuk.
5. Adab memasukkan mayit ke liang kubur adalah mendahulukan bagian kepala mayit melalui bagian kaki dari liang tersebut dengan berdoa bismillahi wa 'ala millati rasulillah, kemudian menghadapkan tubuh mayit ke arah kiblat. Ini adalah pendapat jumhur. Dan tidak mengapa memberi penyangga pada bagian kepala mayit agar rata dengan tubuhnya. (5/182-183)
Setelah dimakamkan disunnahkan untuk melontarkan tiga kepal tanah kubur ke liang kubur. Al Qodhi Husain berkata: ketika melemparkan tanah ke liang kubur yang pertama kali mengucapkan minha khalaqnakum dan lemparan kedua wa fiha nu'idukum dan di lemparan ketiga wa minha nukhrijukum tarotan ukhra. Pendapat ini adalah berdasarkan hadits rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, ketika rasulullah meletakkan mayat Ummu Kultsum, putri beliau saw.
Disunahkan untuk berdiam diri sejenak di sisi kubur setelah pemakaman usai guna memintakan ampunan untuk si mayit.
6. Kemudian ada cara lain ketika memasukkan mayit, yaitu memasukkannya dari arah kiblat. Pendapat ini adalah berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dan diambil oleh imam Abu Hanifah. Dan an Nawawi berkata: hadits ini lemah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al Baihaqi, dan pendapat at Tirmidzi yang menghasankan hadits tersebut tidak bisa diterima. (5/186)

Menutup Mayit Saat Memasukkan Ke dalam kubur

Menurut madzhab Syafi'i: Disunnahkan untuk mayit laki-laki dan wanita. Dan menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, disunnahkan untuk mayat wanita saja. Sedangkan Ibnu Mundzir dari Abdillah bin Buraidah dan Syuraih: tindakan ini dimakruhkan.
1. Tidak meninggikan tanah kuburan lebih dari tanah yang digali dari lubang tersebut.
2. Disunnahkan meninggikan tanah kubur setinggi satu jengkal.
3. Meletakkan tanda dengan batu atau selainnya di bagian kepala dan kaki agar diketahui bahwa itu adalah kuburan.
4. Dimakruhkan mengkijing atau mengkapur kuburan. (5/187-188)
5. Apabila mengkubur mayit sebelum dishalatkan, maka dishalatkan di kuburan. (5/189)
6. Jika terjadi ada barang berharga yang ikut terkubur boleh digali kembali untuk mengambilnya. (5/191)
7. Apabila ada seorang wanita hamil meninggal dunia dan bayi di dalam perutnya masih hidup boleh perut wanita tersebut dibelah untuk mengambil bayinya. (5/192)

Beberap masalah yang penting (5/193-195)

1. Madzhab Syafi'i memakruhkan mengkubur mayit di waktu malam. Akan tetapi banyak riwayat yang menjelaskan boleh mengkubur mayit pada malam hari.
2. Boleh shalat jenazah pada waktu yang terlarang.
3. Menurut Syafi'i memindah mayit yang belum dikuburkan ke negeri lain tidak beliau senangi kecuali jika wilayah tersebut dekat dengan Makkah dan Madinan serta baitul Maqdis, sebab menguburkan mayit di negeri tersebut adalah lebih afdhal.
4. al Mawardi berpendapat makruh menyalakan / meletakkan lampu di sisi kuburan.

Ta'ziyah dan Menangisi Mayit

1. Hukum ta'ziyyah adalah sunnah menurut asy Syafi'i, namun para pengikut beliau memakruhkan ta'ziyyah setelah berlalu tiga hari dari kematian, sebab maksud takziyah adalah untuk menenangkan hati orang yang ditinggal oleh si mayit. Dan biasanya setelah tiga hari hati seseorang itu telah stabil. Takziyah sebelum dikubur dan setelahnya dibolehkan, namun takziyah setelah dikubur itu lebih utama.
2. Boleh menangis selama tidak menjerit-jerit / berlebihan. (5/198-201)

Ziyarah Kubur

Adab-adab yang perlu diperhatikan ketika ziyarah kubur adalah:
1. Berdoa ketika masuk ke komplek kuburan, ziyarah ini hukumnya sunnah bagi kaum laki-laki.
2. Bagi kaum wanita, ziyarah tidak boleh dilakukan, dan jumhur madzhab memakruhkannya.
3. Namun ada pula hadits yang mennjukkan bahwa ziyarah bagi wanita tidak dilarang. Yaitu hadits dari Anas, bahwasannya nabi saw melewati seorang wanita yang menangis di sisi kuburan lalu beliau bersabda, bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah. HR. Bukhari
4. Dilarang duduk di atas kuburan
5. Menurut madzhab syafi'i, berjalan di komplek kuburan dengan mengenakan sandal tidk dimakruhkan. Ini adalah pendapat yang masyhur.
6. Tidak membangun masjid di atas kuburan. (5/202-205)
7. Disunnahkan bagi tetangga mayit untuk membuatkan makanan untuk keluarga mayit yang ditinggalkan karena mereka sedang sibuk, sebagaimana perintah Rasulullah kepada para sahabatnya untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja'far. (5/206)

KITAB ZAKAT

Abu Hasan al Waqidi berkata: zakat adalah sebagai pensuci mensucikan harta benda serta memperbaikinya. Pada asalnya zakat adalah bertambah.
Secara syar'i zakat adalah harta yang diambil dari orang kaya untuk diberikan kepada si miskin. Atau mengamil sesuatu dengan cara kusus.
1. Zakat merupakan salah satu rukun islam, hukumnya fardhu, berdasarkan firman Allah, al baqoroh: 43 dan hadits tentang pertanyaan jibril, apa itu islam … ? (5/211)
2. Zakat tidak diwajibkan kecuali kepada orang muslim yang merdeka. Dan seorang budak jika diberi harta oleh tuannya, maka tidak ada kewajiban zakat baginya. Di sini terdapat dua pendapat, qoul qodim: dia memiliki, dan qoul jadid: dia tidak memiliki. Menurut Abu Hanifah, budak diwajibkan zakat hanya pada hasil tanaman sebesar 10 persen, selain harta tersebut tidak wajib zakat. (5/212)
3. Orang kafir asli tidak wajib zakat, tetapi orang murtad masih diwajibkan membayar zakat. Namun kepemilikikannya terhadap harta diperselisihkan:
a. Hilang kepemilikan terhadap harta bagi orang yang murtd, maka tidak wajib untuk zakat.
b. Tidak hilang, maka dia tetap wajib zakat.
c. Didiamkan, jika dia kembali kepada islam maka haknya akan dikembalikan. (5/113)
Menurut Abu Hanifah, orang murtad tidak wajib zakat, menurut imam an Nawawi orang murtad tidak mengeluarkan zakat, karena zakat adalah ibadah mahdhah yang harus dilaksanakan dengan disertai niat (rukun dan syarat). (5/214)
4. Untuk harta anak kecil, begitu pula harta orang gila, wajib dikeluarkan zakatnya, menurut madzhab syafi'i.
Imam an Nawawi berkata: di antara dalil pendapat sahabat-sahabat kami adalah qiyas, bahwa setiap yang diwajibkan 10 persen dari hasil tanamannya sebagai zakat, maka untuk seluruh harta pun wajib untuk dizakati, seperti halnya orang berakal dan baligh.
Abu Hanifah berpendapat berdasarkan surat at Taubah: 103, anak yatim dan orang gila bukan golongan yang hartanya harus disucikan, sebab keduanya tidak memiliki dosa.
Kemudian tentang hadits rufi'al qolam 'ala tsalatsatin maksudnya dia tidak terkena kewajiban dan dosa. Kami katakan bahwa kedua golongan itu tidak mendapatkan dosa dan tidak mendapatkan beban kewajiban zakat, akan tetapi kewajiban harta yang ia miliki harus dikeluarkan zakatnya oleh wali kedua orang tersebut. (5/215)

Hukum mengakhirkan membayar zakat
1. Membayar zakat menurut madzhab kami harus segera. Apabila telah datang waktunya tidak boleh untuk ditunda-tunda. Jika ditunda dia bermaksiat dan jika kamudian harta itu hilang dia dihitung sebagai hutang. Yang demikian jika dia memungkinkan untuk segera mengeluarkan zakatnya. Maksudnya adalah; a) harta tersebut ada, b) ada obyek untuk menyalurkan harta tersebut.
2. Demikian pula pendapat Malik, Ahmad dan jumhur. Namun Abu Haifah berpendapat dengan bertahap, kecuali pendapat Abu Bakar ar Razi, yang mengatakan: dengan bertahap. (5/219-220)

Menyembunyikan Harta dan Tidak Mengeluarkan Zakatnya Kemudian Harta Tersebut Tampak

1. Madzhab kami berpendapat tidak diambil. Demikian pula pendapat Malik dan Abu Hanifah serta al 'Abdari berkata: mayoritas ulama berpendapat demikian.
2. Menurut Imam Ahmad, diambil zakat harta tersebut dan setengah dari harta keseluruhan sebagai hukuman baginya karena menyembunyikan hartanya. (5/221)

BAB: Zakat Binatang Berkaki Empat

Ada kewajiban zakat untuk hewan-hewan berkaki empat, seperti unta, sapi dan kambing. Sebab hewan tersebut memiliki banyak manfaat. Namun tidak diwajibkan bagi harta seperti hewan kuda, Bighal dan Himar. (5/221)

Zakat kuda
Madzhab kami mengatakan tidak ada zakat bagi kuda sama sekali. Ini adalah pendapat Ibnu al Mundzir dari Ali bin Abi Thalib, ibnu Umar, asy Sya'bi, an Nakha'i, Atha', al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul 'Aziz, al Hakim, ats Tsauri, Abu Yusuf dll. (5/222)

Zakat Hewan hasil perkawinan antara kambing dan kijang
Madzhab kami meniadakan zakat hewan tersebut secara mutlak. Ini adalah pendapat Dawud. Imam Ahmad berkata: wajib zakat bagi himar baik yang lahir betina kijang atau kambing. Abu Hanifah dan Malik berkata: jika yang lahir adalah kambing betina maka wajib zakat, namun jika yang lahir adalah kijang, maka tidak wajib zakat. (5/222)
1. Tidak wajib zakat bagi harta yang bukan milik sendiri secara sempurna.
2. Apabila harta / binatang berkaki empat dimiliki oleh umum, seperti para fuqoro', masjid, prajurit perang atau anak-anak yatim dst. Maka yang demikian tidak wajib dizakati. (5/222)
3. Harta yang dighashab atau hilang, maka tidak ada zakatnya hingga harta tersebut ditemukan. Qoul qodim: tidak wajib dan qoul jadid: wajib dizakati. Ini adalah perkataan asy Syirazi, (5/223-224)
4. harta yang hilang kemudian ditemukan kembali setelah lewat dari masa haul ada perbedaan pendapat:
c. wajib dizakat, ini merupakan pendapat yang benar menurut madzhab Syafi'i.
d. Tidak wajib dizakati.
5. Harta yang dibeli namun tidak ia pegang hingga mencapai haul masih berada di tangan penjual maka terdapat perbedaan pendapat: (5/225-226)
a. Wajib dizakati oleh pembeli, demikian adalah pendapat jumhur sebab itu harta yang dimiliki secara sempurna
b. Tidak wajib, karena kepemilikannya dianggap lemah.
6. Harta yang digadaikan dan telah mencapati masa haul, maka wajib dizakai karena itu adalah harta yang dimiliki secara sempurna. Ada pula pendapat yang tidak mewajibkan, karena harta tersebut terhalangi untuk dioperasikan. (5/226)
7. Pemilik hewan ternak berkaki empat atau lainnya yang wajib dizakati jika pemilik memiliki hutang yang dapat mengurangi nishab hartanya, maka ada dua pendapat. Apakah hutang menghalangi wajibnya zakat ?
a. asy Syafi'i memiliki dua pendapat, qoul qodim: tidak wajib zakat dan qoul jadid: wajib zakat.
b. Hutang menghalangi zakat harta yang telah mencapai nishab jika hutang tersebut akan mengurangi nishabnya. Illahnya adalah kepemilikiannya dianggap lemah. (5/228)
8. Zakat hewan tidak wajib kecuali untuk hewan-hewan yang digembalakan, sperti sapi yang digembalakan atau unta atau kambing. Dan hewan yang digunakan untuk bekerja, di kalangan ulama terdapat perbedaan: a) Menurut jumhur tidak wajib. Dan menurut ulama khurasan harta tersebut wajib dizakati. (5/231)
9. Suatu harta tidak wajib dizakati kecuali telah mencapai nishab.
عن علي وعائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا زكاة في مال حتى يحول عليه الحول
Dari Ali dan Aisyah dari nabi saw beliau bersabda, "Tidak ada zakat kecuali jika harta tersebut telah berumur satu tahun.
Menurut al Abdari bahwa harta yang wajib dizakati ada dua macam:
a. Harta yang berkembang dngan sendirinya, seperti biji-bijian dan buah-buahan: ini wajib untuk dizakati dengan keberadaannya sendiri.
b. Harta yang perkembangannya menunggu, seperti, dirham, dinar, hasil perdagangan, binatang berkaki empat, ini harus menunggu sampai mencapai haul.
Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berkata: zakat diwajibkan pada hari seseorang memiliki nishab. Apabila telah mencapai haul maka zakat tersebut wajib. (5/234) dan apabila pemilik harta meninggal sebelum mencapai haul, maka harta tersebut berubah dan pindah kepada ahli warisnya.

Kambing yang betambah ketika masa haul
1. Menurut Abu Hanifah: ikut dijumlahkan kepada induknya baik tambahan tersebut karena melahirkan atau dari membeli kambing baru. Ini pula yang diambil oleh asy Syafi'iyyah.
2. Menurut Imam Malik, dijumlahkan jika tambahan tersebut hasil dari melahirkan, bukan membeli kambing yang baru. (5/243)

BAB: Zakat Unta
Nishab untuk hewan unta, jumlah minimal adalah lima ekor dengan jumlah zakat satu ekor kambing. (5/248)
1. 10 ekor unta zakatnya 2 ekor kambing.
2. 15 ekor unta zakatnya 3 ekor kambing
3. 20 ekor unta zakatnya 4 ekor kambing
4. 25 ekor unta zakatnya 1 ekor bintu makhadh (anak unta yang berumut satu tahun masuk kepada tahun ke-2)
5. 36 ekor unta zakatnya satu ekor bintu labun (satu ekor unta berumur tiga tahun masuk kepada tahun ke-4)
6. 61 ekor unta zakatnya satu jadz'ah (empat ekor unta yang berumur dua tahun masuk kepada tahun ke-3)
7. 46 ekor unta zakatnya satu hiqqoh (satu ekor unta berumur tiga tahun masuk kepada tahun ke-4)
8. 121 ekor unta zakatnya tiga ekor bintu labun
9. Kemudian setiap penambahan 40 ekor unta zakatnya dan setiap penambahan 50 ekor zakatnya satu hiqqoh.

BAB: Zakat Sapi

Nishab sapi adalah:
1. 30 ekor sapi zakatnya satu ekor tabi' (anak sapi berumur satu tahun)
2. 40 ekor sapi zakatnya satu ekor musannah (anak sapi yang berumur dua tahun)
3. Dan seterusnya, setiap 30 ekor maka satu tabi' dan setiap 40 ekor sapi, maka satu musannah. (5/273)

BAB: Zakat Kambing

1. Nishab minimal untuk kambing adalah 40 ekor dengan jumlah zakatnya satu kambing.
2. 121 ekor kambing zakatnya dua ekor kambing
3. 201 ekor kambing zakatnya tiga ekor kambing
4. Kemudian untuk setiap penambahan 100 ekor kambing zakatnya satu kambing
5. Apabila mayoritas kambingnya sehat, maka zakat yang harus dikeluarkan hendaknya memilih kambing yang sehat dan sebaliknya, sebab jika mayoritas kambingnya sakit kemudian diambilkan zakatnya dari kambing yang sehat akan merugikan pemilik kambing. Kemudian jika sebagian kambing sehat dan separoh yang lain sakit, maka dikeluarkan zakatnya dari kambing yang sehat.
6. Tidak dibenarkan mengeluarkan zakat kambingnya dari kambing yang terdapat cacatnya. Menurut Syafi'I rahimahullah diambil dari yang pertengahan bukan yang paling rendah dan bukan pula dari kambing yang paling tinggi nilainya. (5/278).
7. Menurut asy Syafi'i, tidak boleh mengeluarkan zakatnya dengan uang yang senilai dengan hewan yang menjadi zakatnya. Demikian pula pendapat Malik dan Ahmad serta Dawud. Dan menurut Abu Hanifah tindakan itu dibolehkan.

BAB: Zakat Buah-Buahan

Buah-buahan yang diambil zakatnya adalah buah kurma, anggur / al Karam.
Rasulullah melarang meyebut anggur dengan kata al karam. Buah-buahan yang wajib zakat adalah buah-buahan yang mejadi makanan pokok dan dapat disimpan untuk beberapa lama. Dan untuk nishab zakat buah-buahan adalah minimal lima wasaq. Jika buah-buahan tersebut menghasilkan dengan jerih payah pemilik, dengan cara mengairi dan memupuknya serta mengluarkan biaya perawatan, maka zakat yang dikeluarkan adalah 5 persennya. Dan jika hasil itu didapat tanpa susah payah dari si pemilik, maka harta yang dikeluarkan adalah 10 persen. (5/306-307)
BAB: Zakat Tanaman
Syarat untuk zakat tanaman adalah tanaman tersebut merupakan makanan pokok. Nishab minimal dari tanaman yang dizakati adalah lima wasaq.
1. Boleh mencampurkan / menjadikan satu untuk tanaman-tanaman yang sejenis. (5/325)
2. Untuk biji-bijian tidak boleh dikeluarkan zakatnya melainkan setelah diketam. Demikian pula dengan zakat buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali setelah kering. (5/328)
Dari 'Atab bin Usaid, "untuk buah karam (anggur) diperkirakan seperti perkiraan untuk kurma, kemudian membayarkan zakatnya dalam kondisi anggur itu menjadi zabib (anggur kering) sebagaimana membayarkan zakat kurma ketika kondisi kurma itu menjadi tamar (kurma kering). (5/330)

BAB: Zakat Emas dan Perak

1. Hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah at Taubah: 34, karena emas dan perak merupakan harta benda yang berkembang seperti unta dan sapi dll.
2. Nishab emas adalah 20 mitsqol dan tidak wajib zakat jika nilai emas itu di bawah 20 mitsqol. Dan nishab perak 200 dirham (uang emas).
3. Emas dan perak tidak boleh dijadikan satu untuk mencapai nishab.
4. Jumlah yang dikeluarkan sebagai zakat adalah 2,5 persen.(5/348)

Al hamdulillah

Jumat, 25 Desember 2009

Bahaya Ikhtilat Antara Laki dan Perempuan

Bahaya Ikhtilat Antara Laki dan Perempuan

Pembicaraan seputar ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab (tabir penghalang) sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.

Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.' (Adz-Dzariyat: 55)
Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

Agama itu adalah nasihat.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh1 rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
'Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.'
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar'i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

'Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, 'Marilah ke sini.' Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.' Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf 'alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

'Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.' (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

'Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka''.' (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anahu berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

'Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.' (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, 'Makna نَظْرِ الْفُجَاءَةِ ِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

'Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata''.' (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anahu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

'Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.' (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

'Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.' (HR. Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah 'rasa' di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.

3. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

'Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.' (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anahuma berkata, 'Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.' Ibnu Abbas berkata pula, 'Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.' (Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath' Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.

4. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

'Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.' (Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya'

Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu 'anaha istri Abu Humaid As-Sa'idi Al-Anshari radhiyallahu 'anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي

'Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.' (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, 'Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.' Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta'jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu menyatakan, 'Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, 'Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.' Maka aku katakan, 'Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.' Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.' (Majmu'ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.' (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma'rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)

2. Abu Hurairah radhiyallahu 'anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

'Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.' (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, 'Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar'i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.' (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan'ani rahimahullahu menyatakan, 'Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.' (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.

3. Zainab radhiyallahu 'anaha istri Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anahu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami:

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا

'Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.' (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.' (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, 'Hadits ini hasan shahih.')
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).'
Beliau mengatakan pula, 'Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.' (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.

4. Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

'Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.' (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat'

5. Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

'Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.' (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh' Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.

Lorong lorong Setan

Lorong-lorong Syetan untuk Menyesatkan Manusia

Segala puji bagi Allah  yang telah melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan dosa dan maksiat. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi  yang diturunkan al-Qur`an kepadanya, sebagai pengobat hati dan badan, juga kepada keluarga dan sahabatnya hingga hari pembalasan.
Adapun sesudah itu,
Sesungguhnya pada perbuatan maksiat terdapat celah-celah dan pintu-pintu yang apabila hamba menutupnya dengan kuat dan selalu menjaganya dengan sabar, niscaya syetan tidak mendapatkan jalan untuk menjerumuskannya ke dalam dosa dan maksiat, lalu ia kembali dalam keadaan merugi. Dan sebaliknya, apabila seorang hamba tidak menjaga celah-celah dan pintu-pintu itu, tentu syetan mendapatkan jalan kepadanya. Celah-celah dan pintu-pintu tersebut memudahkannya menyerang hamba tersebut dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan maksiat sedikit demi sedikit.
Celah-celah ini adalah: pandangan mata, bisikan hati, ucapan lisan dan langkah kaki.
Ibnu al-Qayyim rahimahullah telah berbicara tentang empat celah ini, menjelaskan bahaya melalaikannya, dan tata-cara menjaganya, supaya hamba selamat dari serangan syetan dan bisikannya. Di antara perkataan Ibnu al-Qayyim rahimahullah: 'Manakala langkah pertama maksiat tersebut adalah dari sisi pandangan mata, dijadikanlah perintah menundukkan pandangan didahulukan terhadap memelihara kemaluan. Sesungguhnya segala peristiwa berawal dari pandangan, sebagaimana api besar bersumber dari percikan api kecil. Maka berawal dari pendangan mata, kemudian bisikan hati, kemudian langkah, kemudian kesalahan.'
Dan karena sebab inilah dikatakan: Barangsiapa yang memelihara empat perkara ini niscaya ia memelihara agamanya: pandangan mata, bisikan hati, ucapan lisan, dan langkah kaki.
Maka hamba harus menjadi penjaga dirinya terhadap empat pintu ini dan selalu menjaga celah-celahnya karena musuh akan masuk melaluinya, lalu menyerang secara merajalela dan membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang dia kuasai. Oleh karena kebanyakan masuknya maksiat terhadap seorang hamba berasal dari empat pintu ini, maka kami akan menyebutkan satu pasal yang sesuai di setiap bab.

Pertama: Pandangan Mata
Adapun pandangan adalah pemandu syahwat dan utusannya. Dan menjaganya adalah dasar untuk menjaga kemaluan. Maka barangsiapa yang melepaskan pandangannya, berarti ia mendatangkan dirinya kepada sumber-sumber kebinasaan. Nabi  bersabda:
لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ, فَإِنَّمَا لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ.
"Janganlah engkau meneruskan pandangan pertama dengan pandangan kedua, sesungguhnya hanya boleh bagimu pada pandangan pertama, dan tidak boleh pada pandangan kedua." HR. Ahmad.
Dan beliau bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ, مَجَالِسُنَا مَالَنَا بُدٌّ مِنْهَا. قَالَ: إِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْنَ, فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ. قَالُوْا: وَمَا حَقُّهُ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ اْلأَّذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ.
"Hindarilah duduk-duduk di jalanan.' Mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, ia adalah mejelis-majelis kami, kami tidak bisa meninggalkannya.' Beliau bersabda, 'Jika kamu memang tetap melakukan, maka berikanlah hak jalanan.' Mereka bertanya, 'Apakah haknya?' Beliau menjawab, Menahan pandangan, tidak mengganggu, dan menjawab salam." Muttafaqun 'alaih.
Pandangan mata umumnya merupakan sumber berbagai peritiwa yang menimpa manusia. Sesungguhnya pandangan melahirkan bisikan hati. Kemudian bisikan hati melahirkan pikiran. Kemudian pikiran melahirkan syahwat. Kemudian syahwat melahirkan keinginan. Kemudian keinginan itu bertambah kuat, lalu menjadi semangat yang mantap. Lalu terjadilah perbuatan dan memang mesti terjadi, selama tidak ada penghalang. Dan dalam hal ini dikatakan: (sabar terhadap pandangan mata lebih mudah daripada sabar terhadap yang sesudahnya).

Bahaya pandangan: mengakibatkan kerugian dunia akhirat.
Seorang Penyair berkata:
Dan apabila engkau melepaskan pandangan matamu sebagai pemandu- bagi hatimu pada suatu hari, niscaya segala pandangan itu menyusahkan engkau.
Engkau melihat yang tidak semuanya engkau mampu- atasnya dan tidak pula engkau sabar dari sebagiannya.
Berapa banyak orang yang melepaskan pandangannya, maka ia ia tidak bisa berlepas diri darinya melainkan telah berlumuran darah di antaranya dalam keadaan terbunuh.
Dan yang aneh, pandangan mata orang yang memandang merupakan panah yang tidak sampai kepada yang dipandang, sehingga ia menyediakan tempat di hati yang memandang.
Dan yang lebih aneh dari hal itu, sesungguhnya pandangan menorehkan luka di hati, maka diikuti torehan luka yang lain. Kemudian perihnya luka tidak dapat menghalanginya untuk mengulanginya. Dan sungguh dikatakan: 'Menahan pandangan mata lebih mudah daripada terus merugi'.

Kedua: Bisikan hati
Adapun bisikan hati, maka urusannya lebih sulit. Sesungguhnya ia adalah sumber kebaikan dan keburukan. Darinya terlahir segala keinginan, rencana dan semangat. Maka barangsiapa yang menjaga bisikan hatinya, niscaya ia telah memegang tali kendali dirinya dan menguasai hawa nafsunya. Dan barangsiapa yang dikuasai oleh bisikan hatinya, maka hawa nafsunya lebih menguasainya. Dan barangsiapa yang meremehkan bisikan hatinya, niscaya ia akan menuntunnya kepada kebinasaan secara paksa.
Dan bisikan hati senantiasa mendatangi hati, sehingga ia menjadi angan-angan yang batil:
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْئَانُ مَآءً حَتَّى إِذَا جَآءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. An-Nuur :39)

. Angan-angan palsu:
Manusia yang paling rendah cita-citanya dan paling hina jiwanya adalah orang yang senang menukar realita dengan angan-angan palsu, menariknya untuk dirinya, dan berpakaian dengannya. Padahal –demi Allah- ia adalah modal orang-orang yang rugi dan pusat perdagangan para penganggur. Ia adalah makanan jiwa yang kosong, yang merasa cukup menyambung dengan kekuatan khayalan dan meninggalkan realita menuju angan-angan palsu.
Ia adalah yang paling berbahaya terhadap manusia, melahirkan kelemahan dan kemalasan, dan melahirkan kerugian dan penyesalan.
. Pembagian bisikan hati:
Kemudian setelah itu, bisikan-bisikan hati terdiri dari beberapa bagian yang berkisar di atas empat dasar:
1. Bisikan hati yang menarik manfaat-manfaat duniawi.
2. Bisikan hati yang menarik bahaya-bahaya duniawi.
3. Bisikan hati yang menarik kepentingan-kepentingan akhirat.
4. Bisikan hati yang menarik bahaya-bahaya akhirat.
Maka hendaklah hamba memperhitungkan bisikan hati, pikiran, dan cita-citanya pada empat bagian ini. Apabila bisikan-bisikan hati saling bertabrakan karena begitu banyak ketergantungannya, ia mendahulukan yang lebih penting yang dikhawatirkan terlepasnya dan menunda yang kurang penting dan tidak dikhawatirkan lepasnya.
Maka bisikan hati dan pikiran orang yang berakal tidak melewati hal itu. Dengan hal itulah datangnya syari'at. Dan segala kepentingan dunia dan akhirat tidak berdiri kecuali atas hal itu. Dan pemikiran yang paling tinggi, paling besar, dan paling bermanfaat adalah: yang untuk Allah  dan negeri akhirat. Dan pemikiran yang karena Allah  terdiri beberapa macam:
Pertama: memikirkan ayat-ayat yang diturunkan dan merenunginya, serta memahami kehendak-Nya darinya. Dan karena sebab itulah Allah  menurunkannya, tidak hanya sekedar membacanya, tetapi membaca adalah sarana.
Sebagian salaf berkata, Allah  menurunkan al-Qur`an untuk diamalkan, maka jadilah membacanya sebagai amal.
Kedua: memikirkan ayat-ayat yang disaksikan dan mengambil pelajaran darinya, serta mengambil dalil dengannya atas asma, sifat, hikmah, ihsan, kebaikan, dan kemurahan-Nya.
Ketiga: memikirkan segala karunia, ihsan, dan nikmat-Nya terhadap makhluk-Nya dengan berbagai macam nikmat, keluasan rahmat, ampunan, dan santun-Nya.
Keempat: Memikirkan aib diri dan penyakitnya, dan pada aib amal.
Kelima: Memikirkan kewajiban terhadap waktu dan tugasnya, serta mengumpulkan semua cita-cita atasnya.
Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengatur waktunya dengan baik. Karena jika ia menyia-nyiakannya, niscaya sia-sialah segala mashlahatnya. Sesungguhnya semua mashlahat bermula dari waktu, dan jika ia menyia-nyiakannya niscaya ia tidak bisa menyusulnya untuk selamanya.

. Nilai waktu:
Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: 'Aku telah bergaul dengan kalangan sufi, maka aku tidak mendapatkan faedah dari mereka selain dua huruf: salah satunya adalah ucapan mereka: 'Waktu adalah pedang, jika engkau memotongnya (engkau beruntung) dan jika tidak niscaya ia memotongmu.' Kedua: jiwamu, jika engkau tidak menggunakannya dengan benar, dan jika tidak niscaya ia menggunakan engkau dengan kebatilan.'
Pada hakekatnya, waktu manusia adalah usianya. Ia adalah sumber kehidupannya yang abadi dalam kenikmatan yang tetap, dan sumber kehidupannya yang sempit dalam siksaan yang pedih. Ia berlalu lebih cepat daripada awan. Jika waktunya yang digunakan untuk Allah  dan karena-Nya, maka ialah hidup dan usianya. Dan selain yang demikian itu tidak terhitung dalam kehidupannya. Dan jika ia hidup padanya, ia hidup seperti kehidupan binatang. Apabila ia menghabiskan waktunya dalam lupa, syahwat, dan angan-angan palsu dan sebaik-baik yang memotongnya adalah tidur dan menganggur. Maka kematian ini lebih baik daripada hidupnya.
Apabila seorang hamba –dan ia sedang shalat- ia tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya kecuali yang ia ingat darinya, maka tidak ada untuknya dari umurnya kecuali yang diperuntukkan untuk Allah  dan karena-Nya.
Dan bisikan-bisikan hati dan pikiran selain bagian ini, maka bisa jadi ia adalah was-was syetan dan bisa jadi angan-angan palsu dan penipuan yang bohong, seperti bahaya orang-orang yang sakit di akal mereka, berupa orang-orang yang mabok dan pecandu narkotik.
Kondisi orang-orang tersebut mengatakan saat terbukanya kebenaran:
Jika kedudukanku di padang mahsyar di sisimu - apa yang telah kutemui, sungguh aku telah menyia-nyiakan hari-hariku
Angan-angan yang didapatkan jiwaku di satu masa- dan pada hari ini aku menganggapnya bagaikan mimpi-mimpi kosong.
Dan ketahuilah, sesungguhnya datangnya bisikan hati tidak berbahaya. Yang berbahaya hanyalah panggilan dan percakapannya. Bisikan hati bagaikan orang yang lewat di jalan. Jika engkau tidak memanggilnya dan engkau membiarkannya, niscaya ia lewat dan berlalu dari engkau. Dan jika engkau memanggilnya, niscaya ia menyihir engkau dengan omongan, tipu daya dan kepalsuannya. Bisikan hati adalah yang paling ringan terhadap jiwa kosong yang sedang menganggur, dan yang paling berat atas hati dan jiwa mulia yang tenang.
Maka manusia paling sempurna adalah yang paling banyak bisikan hati, pemikiran, dan keinginan dalam memperoleh keridhaan Rabbnya. Sebagaimana manusia yang paling kurang adalah yang paling banyak bisikan hati, pemikiran dan keinginan untuk bagian dan hawa nafsunya di manapun ia berada.
Inilah Umar bin Khaththab , bisikan-bisikan hati saling berdesakan atanya dalam mendapatkan ridha Rabb . Maka terkadang ia menggunakannya dalam shalat, dan ia menyiapkan tentaranya, sedangkan dia dalam shalat. Berarti ia telah menggabungkan di antara jihad dan ibadah. Dan ini adalah bab masuknya berbagai macam ibadah dalam satu ibadah.

Ketiga: Ucapan lisan
Adapun ucapan adalah menjaganya agar tidak keluar ucapan yang percuma, tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang diharapkan keuntungan dan faedah dalam agamanya. Apabila ia ingin berbicara satu kata, ia berpikir: apakah ia mendapatkan keuntungan dan faedah ataukah tidak? Maka jika tidak ada keuntungan padanya, ia berpikir: apakah ia akan kehilangan kata yang lebih menguntungkan darinya, maka ia tidak menyia-nyiakannya dengan ini?
Dan apabila engkau ingin mengambil bukti terhadap yang ada di dalam hati, maka ambillah bukti atasnya dengan gerakan lisan. Sesungguhnya ia memperlihatkan kepadamu apa yang ada dalam hati. Pemiliknya menghendaki atau tidak.
Yahya bin Mu'adz berkata: hati itu seperti panci, mendidih dengan apa yang ada padanya, dan lisannya adalah gayungnya. Maka perhatikanlah seorang laki-laki saat berbicara, sesungguhnya lisannya menimba untukmu sesuatu yang ada dalam hatinya, manis dan asam, tawar dan asin, dan selain yang demikian itu. Dan menjelaskan kepadamu rasa hatinya dengan gayungan lisannya.
Dalam hadits Anas  yang marfu':
لاَ يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمُ لِسَانُهُ
"Tidak istiqamah iman seorang hamba sehingga istiqamah hatinya, dan tidak istiqamah hatinya sehingga istiqamah lisannya." HR. Ahmad, dan baginya ada beberapa syahid).
وَسُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: الفَمُ وَالْفَرَجُ.
Dan Nabi  pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka? Beliau menjawab, 'Mulut dan kemaluan." (HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata: hasan shahih).
Dan anehnya, sesungguhnya manusia bisa dengan mudah menjaga diri dari memakan yang haram, berbuat zalim, berzina, mencuri, meminum arak, memandang yang diharamkan dan selain yang demikian itu, dan sangat sulit atasnya menjaga diri dari gerakan lisannya. Dan berapa banyak engkau melihat laki-laki yang wara' (menjaga diri) dari perbuatan keji dan zalim, sedangkan lisannya memfitnah pada kehormatan orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia, dan ia tidak perduli dengan ucapannya.
Dan dari Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا, يَهْوِي بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَاْلمَغْرِبِ
"Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tidak jelas padanya, dia terjerumus dengan sebabnya di neraka lebih jauh di antara Timur dan Barat." HR. Muslim.
Dan dalam ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah , dalam hadits marfu':
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah  dan hari akhir, hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam."
Sebagian salaf berkata: 'Setiap ucapan anak manusia adalah membahayakannya, tidak berguna baginya, kecuali zikir kepada Allah  dan yang mengikutinya.'



Keempat: langkah kaki
Adapun langkah kaki, maka memeliharanya adalah dengan cara tidak melangkahkan kakinya kecuali pada sesuatu yang dia mengharapkan pahalanya. Maka jika tidak ada tambahan pahala dalam langkahnya, maka duduk darinya lebih baik baginya. Dan ia bisa mengeluarkan diri dari setiap langkah yang mubah (boleh) menjadi ibadah dengannya dan meniatkannya karena Allah , maka langkahnya menjadi ibadah.
Dan tatkala tergelincir itu ada dua: tergelincir kaki dan tergelincir lisan, datanglah salah satu dari keduanya disertai yang lain dalam firman Allah :
وَعِبَادُ الرَّحْمَانِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَاخَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا
Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al-Furqan:63)
Maka Dia  memberikan sifat istiqamah kepada mereka pada ucapan lisan dan langkah kaki mereka, sebagaimana Dia  menggabungkan di antara pandangan mata dan bisikan hati dalam firman-Nya :
يَعْلَمُ خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَاتُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (QS. Ghafir:19)
Dan Allah  tempat meminta pertolongan, Dia yang mencukupkan kita dan sebaik-baik berserah diri. Semoga rahmat Allah  dan kesejahteraan  selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Diterjemahkan dari risalah 'Madakhil asy-Syaithan li ighwai al-Insan' min kalam al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Dipilih dan diringkas oleh divisi ilmiyah Dar al-Wathan.

Qoul Ulama

Qoul Ulama

Kesombongan
Aun bin Abdulloh berkata :

كَفَى بِكَ مِنَ اْلِكْبِر أَنْ تَرَكَ لَكَ فَضْلاً عَلَى مَنَْ هُوَ دُوْنَكَ

"Kafaa bika minal kibri an taroka laka fadhlan ala man huwa dunaka."
Artinya :
"Cukuplah kesombongan itu menghilangkan keutamaanmu dihadapan orang-orang dibawahmu." ( Sifatu Sofwa hlm juz 3 halaman 201 )



Sewenang-wenang, sombong dan terlalu malu
Imam Mujahid berkata :


لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ جَبَّارٌ وَلاَ مُسْتكْبِرٌ وَلاَ مُسْتَحْيٌ

"La yata'allamu al ilma Jabbarun wala mustakbirun wala mustahyun."
Artinya, "
"Tiada mendapatkan ilmu orang yang berlaku sewenang-wenang, orang yang sombong dan seorang yang pemalu." ( Al Faqiih wal Mutafaqqih juz 2 halaman 300 )

Hawa nafsu, persahabatan dan ujub
Wahab bin Munabbih berkata :

اِحْفَظُوا عَنِي ثَلاَثاً :
إيَّكُم وَالْهَوَى مُتَّبَعًا وَقَرِيْنُ سُوءٍ وَاِعْجَابُ الْمَرْء بِنَفْسِهِ

"Ihfadzuu 'anni tsalatsan : Iyyakum wal hawa muttaba'an wa qoriinu suu' wa 'ijabul mar'I binafsihi. "
Artinya :
"Jagalah dirimu dari tiga hal : hawa nafsu yang selalu diikuti, teman yang jelek dan bangga terhadfap diri sendiri." ( Siyar 'Alam an Nubala juz 4 halaman 541 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v :
فَدِيْنُ اْلمُسْلِمِيْنَ مَبْنِيٌّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَمَا اتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأَئِمَّةُ، فَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ أَصُوْلٌ مَعْصُوْمَةٌ (مجموعة فتاوى ابن تيمية 20/164)
"Agama kaum muslimin dibangun atas dasar; mengikuti kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan kesepatakan para imam (ijma')" (lihat Majmu'ah Fatawa Ibnu Taimiyah 20/164)

Abdullah bin Mas'ud z berkata:
إِنَّكُمْ سَتَجِدُوْنَ أَقْوَامًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ يَدْعُوْنَكُمْ إِلَى كَتَابِ اللهِ وَقَدْ نَبَذُوْهُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَطُّعَ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّعَمُّقَ وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ (رواه اللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة 1/97)
"Kalian akan menemui golongan-golongan yang mengaku mengajak kalian kepada kitabullah, padahal mereka menaruhnya dibelakang punggung mereka. Maka kalian harus berilmu dan janganlah berbuat bid'ah, janganlah berlebih-lebihan dalam beramal ataupun perkataan dan berpeganglah kepada para pendahulu (salaf) (HR. Al-Lalika'iy, Syarhu Ushuli I'tiqodi Ahlis Sunnah wal Jama'ah 1/97)

Asy-Sya'bi v berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ السَّلَفِ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهَا لَكَ بِالْقَوْرِ (إعلام الموقعين 1/152)
"Berpeganglah kepada peninggalan para salaf walaupun karenanya kamu ditolak oleh orang banyak, jauhilah pendapat para tokoh, walaupun mereka menghiasi perkataan mereka." (I'lamul Muwaqi'in, Ibnu Qoyim Al-Jauziyah 1/152)

Abdullah bin Mas'ud radhiaallahu'anhu berkata:
مَنْ كَانَ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ n فَإِنَّهُمْ أَبَرُّ قُلُوْبًا وَأَعْمَقُهَا عِلْمًا وَأَقَلُّهَا تَكَلُّفًا وَأَقْوَمُهَا هَدْيًا وَأَحْسَنُهَا حَالاً، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ الله ُلِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْا آثاَرَهُمْ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى اْلهُدَى اْلمُسْتَقِيْمِ (إعلام الموقعين 4/139)
"Barangsiapa yang mengikuti seseorang hendaklah ia mengikuti para sahabat Rasulullah n . Karena sesungguhnya hati mereka adalah sebaik-baik hati manusia. Ilmu mereka adalah sedalam-dalam ilmu manusia. Mereka paling sedikit bebannya (tidak mengadakan urusan-urusan yang memberatkan diri), paling lurus jalan (hidup)nya dan paling baik keadaan akhlaknya. Suatu kaum yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya, maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar-atsarnya (jejak langkahnya) karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus." (I'lamul Muwaqi'in 4/139)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib zberwasiat:
اِرْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتْئِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنٌ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَآءِ اْلآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَآءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابٌ وَغَدًّا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلٌ
"Dunia akan pergi berlalu, dan akhirat akan datang, dan keduanya mempunyai anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya pada hari ini hanya ada amal tanpa hisab (perhitungan), dan besok hanya ada hisab (perhitungan) tanpa amal." (HR. Bukhori secara Mu'allaqa)

Imam Malik v berkata:
لاَيَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلهُاَ
"Generasi akhir ummat ini tidak akan baik kecuali dengan (jalan hidup) yang telah menjadikan baik generasi pendahulunya." (Dikutip dari buku Khutbatul Jum'at Pilihan hal. 197)

Sufyan Ats-Tsauri v berkata:
الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ اْلمَعْصِيَّةِ. اْلمَعْصِيَّةُ يُتَابُ مِنْهَا وَاْلبِدْعَةُ لاَيُتَابُ مِنْهَا (شرح أصول الإعتقاد أهل السنة والجماعة للكائي 1/132)
"Perbuatan bid'ah itu lebih disukai iblis dari pada perbuatan maksiat, karena yang melakukan maksiat akan bertaubat dari kemaksiatannya sementara orang yang melakukan bid'ah tidak akan bertaubat dari kebid'ahannya." (Syarh Ushulil I'tiqadi Ahli Sunnah wal Jama'ah, Al-Lalikaiy 1/132)

Ayub As-Sikhtiyani v berkata:
مَازْدَادُ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اجْتِهَادًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا (الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع، للإمام السيوطي : 66)
"Tidaklah seorang yang melakukan bid'ah semakin bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebid'ahannya melainkan ia akan semakin jauh dari Allah." (Al-Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'Anil Ibtida', Imam As-Suyuti, hal. 66)

Abdullah bin Umar z berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً (المدخل إلى السنن الكبرى للبيهقي رفم : 191)
"Setiap bid'a itu adalah sesat, sekalipun orang-orang memandang hal itu tampak baik." (Al-Madkhol ilas Sunanil Kubra, Al-Baihaqi, no. 191)

Ibnul Qoyim v berkata:
احْذَرُوْا مِنَ النَّاسِ صِنْفَيْنِ: صَاحِبُ هَوَى قَدْ فَتَنَهُ هَوَاهُ وَصَاحِبُ دُنْيَا أَعْمَتْهُ دُنْيَاهُ (إغاثة اللهفان، لابن القيم الجوزية، 2/586)
"Waspadalah kalian terhadap dua tipe manusia, pengikut hawa nafsu yang diperbudak oleh hawa nafsunya dan pemburu dunia yang telah dibutakan (hatinya) lantara dunia (yang telah dicapainya)" (Ighotsatul Lahfan, Ibnul Qoyim Al-Jauziyah 2/586)

Imam Malik v berkata:
مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ اِلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعِمَ أَنَّ مُحَمَّدًا خَانَ الرِّسَالَةَ، لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَيَكُنِ اْليَوْمَ دِيْنًا
"Barangsiapa mengada-adakan dalam Islam suatu bid'ah dia melihatnya sebagai suatu kebaikan maka dia telah menuduh Muhammad menghianari risalah, karena Allah telah berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku ridhoi Islam menjadi agamamu." Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat hidup Rasul), bukan pula termasuk ajaran agama pada hari ini." (Dakwatul Kholaf Ila Thoriqis Salaf, Muhammad bin Ali bin Ahmad Bafadhl, hal.)

Umayyah bin Shalt v berkata:
أَيُّمَا شَاطِنٌ عَصَاهُ عَكَاهُ وَرَمَاهُ فِيْ السِّجْنِ وَاْلأَغْلاَلِ
"Siapa yang tidak mampu mengendalikan lidahnya, ia akan menjerumuskan yang punya kedalam penjara dan belenggu rantai." (Edisi terjemah, Mashoibul Insan Min Makaidisy Syaithan, Al-Imam Ibrahim bin Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi Al-Hanbali, hal. 8)

Abdullah bin Mas'ud zberkata:
الْقَصْدُ فِي السُنَّةِ خَيْرٌ مِنَ اْلإِجْتِهَادِ فِي اْلبِدْعَةِ (رواه الدارمي، رقم : 223)
"Sederhana dalam Sunnah lebih baik dari pada bersungguh dalam masalah bid'ah." (HR. Ad-Darimi no. 223, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Abdullah bin Mas'ud zberkata:
تَعَلَّمُوْا اْلعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ، وَقَبْضُهُ أَنْ يَذْهَبَ أَهْلُهُ، أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَالتَنَطُّعِ وَالتَعَمُّقِ وَالْبِدَعِ، وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ (رواه الدارمي، رقم 144 بسند ضعيف)
"Pelajirah ilmu sebelum itu hilang, dan hilangnya ilmu itu dikarenakan wafatnya para ahlina. Ingatlah! Hendaknya kamu menjauhi memfasih-fasihkan dalam perkataan, berpanjang lebar dalam ucapan, dan bid'ah (menciptakan hal-hal yang baru dalam masalah agama), dan hendaknya kalian berpegang teguh kepada yang lama (salaf). (HR. Ad-Darimi no. 144, sanadnya dianggap dhoif)

Ibnu Abbas zberkata:
إِنَّ أَبْغَضُ اْلأُمُوْرِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الْبِدَعُ، وَإِنَّ مِنَ اْلبِدَعِ اْلاِعْتِكَافُ فِي الْمَسْجِدِ الَّتِيْ فِي الدُوْرِ
"Hal yang paling dibenci oleh Allah adalah bid'ah, dan diantara perbuatan yang termasuk dalam perbuatan bid'ah adalah beri'tikaf di masjid dengan membuat lingkarang." (Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra 4/316)

Umar bin Abdul Aziz v berkata:
أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعَالَى، وَاْلإِقْتِصَادِ فِيْ أَمْرِهِ، وَاتِّبَاعِ سُنَّةِ رَسُوْلِه n ، وَتَرَكَ مَا أَحْدَثَ الْمُحْدِثُوْنَ بَعْدُ
"Aku berwasiat kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya, dan meninggalkan sesuatu yang disampaikan oleh orag-orang yang senantiasa menciptakan hal-hal yang baru (dalam masalah agama) sepeninggalanku." (Bid'ah yang dibungkus dengan hadits palsu, Abu Syama', hal. 40)

Umar bin Khattab zberkata:
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ يَعْنِيْ إِنَّهَا مُحْدَثَةُ لَمْ تَكُنْ، وَإِذَا كَانَتْ فَلَيْسَ فِيْهِ رَدٌّ لِمَا مَضَى
"Ini adalah bid'ah yang baik, yakni yang baru yang belum ada sebelumnya. Tetapi jika dilaksanakan, maka tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada sebelumnya." (Bid'ah yang dibungkus dengan hadits palsu, Abu Syama', hal. 59)
• قال الحسن :( إنّ العبد لايزال بخير ماكان له واعظ من نفسه وكانت المحاسبة من همته )
Qoola al Hasan : "innal 'abda laa yazaalu bikhoirin maa kaana lahu waa'idzun min nafsihi wakaanatil muhasabatu min himmatihi"
Al-Hasan berkata: " Sesungguhnya seorang hamba masih akan tetap baik selama masih memiliki penasehat dari jiwanya, serta menjadikan muhasabah sebagai capainya."
( Ibnu Qoyyim al Jauziyyah, Ighotsatuh al lahfan fii mashoyidisy syaithon, 1/158 )

• قال ابن عون : ( ذكر الناس داء, وذكر الله دواء )
Qoola ibnu 'Aun : "Dzikrunnaasi daa'un, wa dzikrullah dawa'un"
Ibnu 'Aun berkata, : "Membicarakan manusia adalah penyakit, dan mengingat Allah adalah obat "
( Hisyam bin Ismail Ash Shoyani, Manhaj Ahlu sunnah wal JAma'ah fi an naqd wal hukmi alal akhorin, hlm.73)

• قال الإمام أحمد : ( على كلّ حال من الأحوال القران كلام الله غير مخلوق)
Qola imam Ahmad : "ala kulli hal minalahwal al qur'an kalamullah ghoiru makhluk"
Imam Ahmad berkata : "Walau dalam kondisi apapun, al qur'an adalah kalamullah bukan makhluk"
( Abdurrahman bin Yusuf Al Jadi' , al aqidah as salafiyah fii kalami robbi al bariyyah wa roddiyah, hlm. 247 )

• قال الإمام أحمد :( من قال : لفظي بالقران مخلوق فهو جهنيّ, ومن قال : غير مخلوق , فهو مبتدع لا يكلَّم )
Qoola imam Ahmad : "man qoola lafdzii bil qur'an makhluk fahuwa Jahmiy, wa man qoola ghoru makhluk fahuwa mubtadi' laa yukallam"
Imam Ahmad berkata : "Siapa yang mengatakan 'Lafadku membaca al Qur'an adalah makhluk' maka ia adalah Jahmiyah, dan siapa yang mengatakan : bukan makhluk maka ia ahlu bid'ah, tidak usah diajak bicara'
( Ibnu Taimiyah, Majmu' fatawa : 12 / 325 atau Abdurrahman bin Yusuf Al Jadi' , al aqidah as salafiyah fii kalami robbi al bariyyah wa roddiyah : 270 )


Oleh : Saifuddin

أقوال السلف
ابن أحمد

شميط بن عجلان :
من جعل الموت نصب عينيه لم يبال بضيق الدنيا ولابسعتها
( منهاج القاصدين 311 )

Berkata syamith bin 'Ajlan :
" Barang siapa yang menjadikan kematian senantiasa dihadapan matanya, maka dia tidak akan peduli dengan kesempitan dunia maupun kemewahannya."
( Minhajul Qoshidin : 311 )


قال فضيل بن عياض :
من أحب أن يذكر لم يذكر ومن كره أن يذكر ذكر
( سير الأعلام 432 )

Fudail bin iyadh berkata : barang siapa yang suka untuk disebut – sebut namanya maka ia tidak akan terkenal, dan barang siapa yang tidak suka untuk disebut – sebut namanya, maka ia akan terkenal.
( Siyarul A'lam : 432 )

قال وهب بن منبه
إحفظوا عني ثلاثا : إياكم وهوى متبعا وقريب سوء وإعجاب المرء بنفسه
( سير الأعلام 4\541 )

Wahab bin Munabih berkata :
jagalah dariku tiga perkara : 1] jauhilah olehmu dari mengikuti tiga hawa nafsu, teman yang buruk, dan bangga seseorang terhadap dirinya.
( Syiarul A'lam : 4 / 541 )

قال أبودرداء
إستعينواباالله من خشوع النفاق قيل وما خشوع النفاق ؟ أن يرى الجسد خاشعا والقلب ليس بخاشع
( الصفوة 1\363 )

Abu Darda berkata :

Berlindunglah kalian kepada Alloh dari Khusu'nya kemunafikan, ketika ditanyakan apakah khusunya nifak itu ? yaitu ketika penampilannya kelihatan khusu' padahal hatinya tidak khusu'
( as shofwah : 1 / 363 )



قال محمد بن إدريس الشافعي :
أحب الصالحين ولست منهم وأرجوأن أنال بهم شفاعة
( قادة الفكر الإسلامي - عبدالله بن سعد ص 386)

Imam syafi'i berkata :
saya mencintai orang – orang sholih, dan saya bukanlah dari kalangan mereka, saya berharap untuk mendapatkan syafaat bersama mereka
( Qodatul Fikri : 326 )

قال أبودرداء
إن من شرالناس عندالله عزوجل منزلة يوم القيامة عالما لم ينتفع بعلمه
( حياة الصحابة :3\244)
Berkata Abu Darda :
Sesungguhnya sejelek – jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Alloh adalah orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.
( Hayatus Shohabah : 3 / 244 )


قال الحسن البصري
: ليس الإيمان بالتحلي ولا بالتمني ولكنه ماوقر في الصدر وصدقته الأعمال

Hasan AL Bashri berkata :
Iman itu bukan hanya hiasan dan angan – angan, akan tetapi ia adalah sesuatu yang tertanam dalam lubuk hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan..
( al Izz al Hanafi, syarh al – aqidah At thohawiyah : 339 )


Umar ibnul khottob berkata:
”Haasibuu anfusakum qobla antuhaasibuu, dan timbanglah amalanmu sebelum amalanmu ditimbang, watuzayinuu lil ‘irdhi al akabar”.


Uamar bin khotob mengatakan
:”Siapa yang banyak bicara, pasti banyak salahnya. Siapa banyak salahnya, pasti banyak dosanya, dan siapa banyak dosanya, maka neraka lebih pantas baginya”.


Abul qosim al hakim berkata
:”siapa takut sesuatu tentu ia alkan lari darinya, tapi bila ia takut kepada Allah, justru ia mendekat kepadanya”.


Ahlul ilmi mengatakan
:”ihdzar min tsalats:
ihdzar zalatul alim wala ta’dzimuhu qodrohu, wattafaqo hafwatul jahil wala tu’adihi.Watunabbiha lighoflatirrojul assholih wala talzimuhu.
“hindari 3 perkara:
1. Tergelincirnya (lidah) seorang alim tapi jangan sampai meremehkan kapasitasnya.
2. Ocehan si jahil tapi jangan sampai memusuhinya.
3. lalainya seorang yang sholih dan tak perlu menggunjingnya.


Imam asy syafi’i mengatakan:
”Aku hidup, pasti aku makan. Aku mati, pasti dapat kuburan.citaku bak ambisi raja, jiwaku jiwa bebas merdeka, yangmemandang kekufuran tak ubahnya kehinaan kerendahan”.(ana in isytu lastu a’damu quutan. Wain mittu lastu a’damu qobron, himmatii, himmatul mulk, wanafsi nafsul hurri tarol madzallah kufron”.


Jibril berkata
:”yaa muhammad, isy maa syi’ta, fainnaka mayyitun, wa ahbib maa syi’ta fainnaka mufaariquhu, wa’mal maa syi’ta fainnaka mulaaqihi”. (’wahai Muhammad, hidpulah sekehendakmu, tapi engkau akan mati, cintailah apa saja, tapi engkau akan meninggalkannya dan berbuatlah semaumu tapi engkau akan dibalas”.


Sahl bin abdullah rohimahullah berkata:
”Alamatu hubbillah, hubbul qur’an, wa alaamatu hubbil qur’an hubbinnabiy S.A.W. wa alaamtu hubbinnabiy, hubbussunnah, wa alamatu hubbillah wahubbul qur’an wahubbinnabiy, hubbul akhiroh, wa alamatu hubbil akhiroh ayyuhibba nafsahu, wa alamatu hubbi nafsihi, ayyubghidhod dunya, wa alamatu bughdhid dunya alla ya’khudza minha illazzaad wal bulghoh”.





قال كعب : من أكثر ذكر الله عز وجل برئ من النفاق
Qaala Ka'ab: "Man Aktsara Dzikrillah 'Azza Wajalla Barium Minan Nifaq"
Berkata Ka'ab:" Barangsiapa yqang banyak berdzikir akepada Allah kama akan terlepas dari kenifakan".( Al Waabil Ash Shayyib, Ibnu Qayyim. Cet.I,th.1418 H/1997M, al Maktabah Al Islamiyah. Hal 109).
قال شيخ الإسلام ابن تيمية : الذكر للقلب مثل الماء للسمك , فكيف حال السمك إذا فارق الماء
Qaala Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Adz- Dzikru Lil Qalbi, Mitslu Al- Maai lissamak".
Berkata Syaikhul Islam :" Dzikir terhadap hati bagaikan air terhadap ikan maka bagaimana halnya ikan apabila terpisah dengan air".".( Al Waabil Ash Shayyib, Ibnu Qayyim. Cet.I,th.1418 H/1997M, al Maktabah Al Islamiyah. Hal 110 ).

قال لقمان لابنه : إن مثل أهل الذكر والغفلة كما النور والظلمة
Qaala Luqman Li Ibnihi, Inna Matsala Ahli Dzikri wal Ghaflah Kama An Nur wal Dzulumah"( Bidayah Wan Nihayah, Ibnu katsir, Juz.9/hal.226. Cet.I,tahun 1423 H/2003 M, Maktabah Ash Shafa ).
Berkata luqman kepada Anakmya:" Sungguh permisalan Ahli Dzikir dengan Orang yang lalai seperti Cahaya dan kegelapan".
قال على بن الحسين : إن الله يحب المؤمن المذنب التواب.
Qaala 'Ali Bin Husain, Inna Allaha Yuhibbul Mukmin Al Mudzannib At- Tawwab.
Berkata Ali Bin Husain:" Sungguh Allah mencintai seorang Mukmin Yang berdosa yang bertaubat"."( Bidayah Wan Nihayah, Ibnu katsir, Juz.9/hal.96. Cet.I,tahun 1423 H/2003 M, Maktabah Ash Shafa ).

Amir Hamdan
Aqwalus Salaf

وروى الخطيب البغدادي بإسناده عن إسحق بن عبدالله قال (أقرب الناس من درجة النبوة أهل العلم وأهل الجهاد، قال: فأما أهل العلم فدلّوا الناس علي ماجاءت به الرسل، وأما أهل الجهاد فجاهدوا على ماجاءت به الرسل) أهـ (الفقيه والمتفقِّه، 1/35).
Aqrabun nas min darajatin nubuwwati ahlul ilmi wa ahlul jihad, qala faamma ahlul ilmi fadallu annas ‘ala maja bihir Rasul, waamma ahlul jihad fajahadu ‘ala majaat bihir Rasul.
Diriwayatkan oleh al Khatib Al Baghdadi dengan sanadnya dari Ishaq bin Abdullah ia berkata: manusia yang paling dekat derajatnya dengan kenabian adalah ahlul ilmi dan ahlul jihad, ia berkata: ahlul ilmi mereka yang menunjuki manusia sesuai yang datang dari Rasulullah n , sedangkan ahlul jihad mereka berjihad sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah n .

وقال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس (قوا أنفسكم وأهليكم ناراً) يقول اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصي الله وَأْمُروا أهليكم بالذكر ينجيكم الله من النار. ( الجامع في طلب العلم الشريف )
Qala Ibnu Abi thalhah an Ibni Abbas ( quu anfusakum wa ahlikum naara ) yaqulu I’malu bitha’atillah wattaqu ma’ashillah wa amaru ahlikum bidz-dzikri yunji kumullah minannar.
Berkata Ali Bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengenai ayat ( quu anfusakum wa ahlikum naara ) ia berkata: kerjakanlah ketaatan kepada Allah k dan takutlah berbuat maksiat kepada allah dan perintahkanlah keluargamu dengan berdzikir, maka Allah k akan menyelamatkanmu dari api neraka.

شيـــخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله قال: ويجب تعليم أولاد المسلمين ماأمر الله بتعليمهم إياه، وتربيتهم على طاعة الله ورسوله. ( الجامع في طلب العلم الشريف )
Syaihul islam ibnu Taimiyyah v qala: wa yajibut ta’limu auladil muslimin ma amarallah bita’limihim iyyahu, wa tarbiyatihim ‘ala tha’atillah wa Rasulihi.
Syaikhul Islan Ibnu taimiyyah v berkata: wajib mengajarkan anak-anak kaum muslimin dengan apa-apa yang diperintahkan Allah k kepadanya dan mendidik mereka kepada ketaatan kepada Allah k dan Rasul-Nya.



JANGAN DI HAPUS PENTING
AQWALUS SALAF

قال الإمام أحمد : "لايوصف الله إلا بما وصف به نفسه أو وصفه به رسوله, لا يتجاوز القرآن والحديث "
ARTINYA: “Allah ktidak disifati kecuali dengan apa-apa yang telah Dia sifai sendiri atau disifati oleh RosulNya dan tidak menyelisihi Al Qu’an dan As Sunnah”.
( SYREH AQIDAH WASHITIYAH SYEH UTSAIMIN : 48)
قال ابن تيمية : من شر أقوال أهل البدع و الإلحاد
“Termasuk sejelek-jelek perkataan adalah perkataannya ahlu bid’ah dan atheis”.
( SYREH AQIDAH WASHITIYAH SYEH UTSAIMIN : 59)
Imam Malik ditanya tentang firmanNya surat Thoha: 5 "الرحمن على عرش استوى"
"كيف استوى ؟ فأطرق مالك برأسه حتى علاه العراق, ثم رفع رأسه وقال : "الإستواء معلوم و الكيف مجهول و الإيمان به واجب و السؤال عنه بدعة "
Bagaimanakah istiwa’nya Allah k? lalu Imam Malik memukul kepala orang itu sampai bercucuran keringatnya, lalu mengangkat kepalanya dan berkata; “istiwa’ itu telah diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.
( SYREH AQIDAH WASHITIYAH SYEH UTSAIMIN : 64)
قال ابن القيم : "كلام المتقدمين قليل كثير البركة , و كلام المتأخرين كثير قليل البراكة".
Ibnu Qoyim berkata: “perkataan para pendahulu sedikit tapi banyak barokah, sedangkan perkataan para mutakhkhirin banyak tapi sedikit barokah”. ( hilyatu tholibil ilmi, syeikh bakar Abu Zaid)
قال نعيم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري : " من شبه الله بخلقه, فقد كفر, ومن جحد ما وصف الله به نفسه كفر وليس فيما وصف الله به نفسه أو بما وصف به رسوله تشبيه و لا تمثيل".
Nuaim bin Hamad Al Khoza’I Syaikhnya imam Bukhori berkata: “barang siapa yang meyerupakan Allah k dengan makhluqnya, maka sungguh ia telah kafir”. Karena ia telah mengumpulkan antara mendustakan khobar ( yaitu firmanNya dalam Asy Syuro: 11) dan menolak tholab (yaitu perintah Allah k agar tidak diserupakan dengan yang lainnya sebagaiman dalam An Nahl: 74). ( SYAIH AQIDAH WASHITIYAH SYAIH UTSAIMIN : 66 dan 83)
قال بعض السلف: "إذا قال لك الجهمي : إن الله ينزي إللى السماء, فكيف ينزل ؟ فقل : إن الله أخبرنا أنه ينزل , ولم يخبرنا كيف ينزل .
Berkata sebagian salaf: “jika orang jahmiyah berkata kepadamu: “sesungguhnya Allah k itu turun, lalu bagaimanakah Allah k turun? Maka katakanlah: “sesungguhnya Allah k menghabarkan kepada kita bahwa Dia turun namun tidak maenghabarkan kepada kita bagaimana kita turun.” ( SYAIH AQIDAH WASHITIYAH SYAIH UTSAIMIN : 63)
ومن كلام الشافعي : "آمنت بالله وبما جاء عن الله على مراد الله , وآمنت برسول الله و بما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
Dan termasuk dari perkataan Imam Syafi’I: “aku beriman kepada Allah k dan dengan apa yang datang darinya dan sesuai dengan apa yang dimaksudnya, demikian juga aku beriman kepada Rosululloh dan dengan apa yang dibawa Rosululloh sesuai dengan apa yang dikehendaki beliau”.